Senin, 10 Desember 2018

Afzhi’s Story - Ketika Aku Tak Menyukai Kegagalan (Bagian 1)



Yuhu~~~ Akhirnya blog yang sudah berdebu dan tampilannya sudah sangat ketinggalan zaman ini kembali beroperasi. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, akhirnya kemageran yang selama ini datang bertubi-tubi sekaligus beberapa kesibukan – yang pada dasarnya hanya sok-sokkan menyibukkan diri – bisa di-pause sejenak kali ini.

Nah tulisan ini agak berbeda dari postingan sebelumnya, bukan berisikan cerita-cerita semacam cerpen, cerbung, referensi buku, atau variety show terbaru. Aku belum menemukan ide cerita baru pemirsa, maafkan.... Sebenarnya tulisan ini lebih ke arah dokumentasi tersendiri buatku agar ke depannya aku ingat kalau aku pernah sadar dan sempat mendapatkan titik cerah dari rundung duka yang beberapa waktu lalu sempat melanda. Ah, bahasa dirundung duka terlalu lebay sepertinya, mari kuganti katanya dengan ‘kegalauan’ (Elah sok-sokkan galau, kayak anak remaja yang baru puber aja lu Tong).

Kenapa galau? Udah seberumur segini masih galau? Masa nggak bisa nyari ketenangan sendiri? Benar-benar sudah bukan zamannya lagi Ferguso~~~

Bukan begitu pemirsa, tahan dulu pertanyaannya. Mari kumulai dulu bercerita dari latar belakang, agar tulisan ini terlihat lebih sedikit alamiah, akademik, dan mendidik.

Saat umurku memasuki akhir 20, di situlah semuanya bermula. Apalagi kalau bukan urusan sekeripsi alias skripsweet, bahasa baik-baiknya SKRIPSI. Aih, sungguh gila sekali keadaan waktu itu. Bayangkan saat dirimu ngebet banget pengen wisuda, cepat-cepat tamat, dan wushhh urusan skripsi, olah data, ambil kesimpulan, jurnal-jurnalan malah semakin pelik. Belum lagi mau menemui dospem, minta tanda tangan, revisi, dan semacamnya. Ada juga keadaan Papa yang sedang sakit dan mesti bolak-balik buat berobat. Air mata tumpah ruah kala itu, Sist, Bro. Drama sekali pokoknya, melebihi drama M-net di kalangan anak-anak produce dan para pengharap award. Ingin menghujat tapi takut dosa. Tapi... Alhamdulillah wa syukurillah pas hampir di titik mau menyerah Allah kasih jalan. Yeay~~~ wisuda kita dong ya. Oke, saat itu aku tutup dengan bahagia.

Masuk umur 21 pas, di sini mulailah perjalanan hidup yang kalau kata orang-orang, ‘Jadi orang dewasa itu nggak mudah’ – maka dari itu sebenarnya sejak dulu aku nggak pernah punya cita-cita menjadi dewasa. Mau nggak mau, kalau umur panjang, maka fase mulai menjadi orang dewasa itu harus dilalui dong (meskipun sampai saat ini aku anti dibilang dewasa. *tidak sadar umur sama sekali*). Habis wisuda, ternyata nggak habis di situ doang Sist, Bro. Lebih rumit dari skripsi dan sedikit lebih pahit dari rasa daun pepaya. Pasca wisuda mau ngapain Neng? Kerja? Kuliah? Oke, sebenarnya aku udah punya target tersendiri. Cuma yang namanya hidup di dunia yang fana ini, tak semua berjalan sesuai keinginan. Maunya A, tapi nggak tercapai, lanjut mau B, belum tercapai juga, ambil pilihan C, belum rezeki. Ditambah lagi pertanyaan dari penduduk (aih penduduk, sudah macam hendak sensus tahunan saja) sekitar, “Sekarang sibuk apa? Kerja dimana? Udah jadi daftar kuliah?” Jujur gengs, saat itu menurutku pertanyaan tersebut adalah hal terberisik yang bikin telinga pengang.

Lanjut ke pertengahan umur 21, makin drama lagi. Mulai stres, banyak pikiran, dan menyalahkan diri sendiri. Beberapa rencana dari yang urutan pertama sampai beberapa list rencana ke bawah sudah dikasih garis merah, alias gagal. Puyeng dong gagal berkali-kali, coba ini coba itu belum juga berhasil. Ini fase paling parah, tepatnya itu baru beberapa waktu lalu. Udah usaha segala cara, belajar, sampai-sampai ambil les Toefl, tapi sepertinya tidak ada kemajuan yang signifikan. Jangan tanya perihal doa atau ibadah, oke. Masing-masing kita punya porsi tersendiri yang tak bisa dipublikasikan. Intinya doa harus gandengan sama usaha, usaha harus diiringi doa. Meskipun begitu, ujung-ujungnya aku sering menyalahkan takdir, tidak menerima dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu, sampai membandingkan nikmat yang Allah kasih ke orang lain dengan nikmat yang Allah kasih untukku.

Sip, latar belakangnya sampai di situ dulu. Kesimpulannya, ketika menjadi mahasiswa akhir hingga saat ini, banyak kesulitan yang dilalui, hanya sedikit keberuntungan yang aku rasa aku dapatkan. Lanjut, ke rumusan masalah. ‘Jadi kamu tu mau cerita apaan Ai? Ini mau ngeluh sampai akhir dan minta belas kasihan apa gimana?’ (Hahaha, aku tak semenyedihkan itu Maemunah, silakan scroll lagi ke bawah)

Ketika aku melalui fase-fase di atas, sebenarnya ada dua hal yang aku butuhkan. Dukungan dan motivasi. Kalau motivasi dari keluarga, orangtua, saudara sudah mantap. Aku bersyukur sekali sama keluargaku yang nggak muluk minta babibu dan lalala sebagainya. Bahkan ketika aku gagal berkali-kali, aku sama sekali tidak pernah disalahkan atau diminta untuk berhenti. “Tenang, masih ada tahun besok,” begitu kira-kira. Yang menjadi permasalahan utama itu adalah AKU SENDIRI. Aku, lupa untuk mendukung diriku, tak ingat untuk memotivasi diriku, karena sudah terlanjur menyalahkan diri sendiri dan takdir yang Allah kasih. Blasssh, kalau dari diri sendiri saja sudah babak belur begini, maka tidak akan mungkin pikiran-pikiran positif itu bisa datang secara instan, kan?

Mau cerita kepada orang lain, rasanya juga tak nyaman. Aku sadar, sepertinya orang-orang seumuranku memiliki kesulitan masing-masing yang mereka emban. Tidak tega juga rasanya mau berkeluh-kesah kepada orang yang sebenarnya juga butuh dukungan (Oke, mungkin di sini kalian bisa mulai menangkap kalau aku suka pesimis sebelum mencoba, ini juga salah satu yang jadi masalah kepribadianku). Sampai akhirnya aku bisa bercerita ke salah satu teman dan waw... tak seperti yang dikira. Dia bisa kasih solusi yang jelas, mulus, dan tepat sasaran, walaupun dia juga tidak sepenuhnya dalam keadaan baik-baik saja. So, kali ini biarkan aku memberikan nasihat yang selama ini jarang kulakukan. ‘JANGAN PERNAH BIARKAN DIRIMU SENDIRI MEMIKIRKAN MASALAHMU. ADA ORANG LAIN YANG BISA KAMU AJAK BICARA. TEMUKAN SETIDAKNYA SATU ORANG DIANTARA MILYARAN UMAT MANUSIA YANG ADA SAAT INI YANG BISA MENDENGARKAN CERITAMU. JANGAN CARI SOLUSIMU SENDIRI JIKA KAMU TAK SANGGUP MELAKUKANNYA.’

Kenapa aku bisa bilang pakai CAPSLOCK huruf gede sok-sok tegas seperti itu? Begini, beberapa waktu lalu aku sempat menemani Papaku ke rumah sakit untuk membesuk seseorang, pokoknya seseorang. Jeball, di sini aku mau mengingatkan, bukan menyebarkan aib. Semoga saja jika cerita ini berkenan buat kalian semua, tokoh cerita ini bisa mendapatkan pahala dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin. Beliau ini terkena gangguan jiwa dan stres akut. KENAPA? Nah ini yang mau aku jelaskan. KARENA dia belum bisa mencapai keinginan dan cita-citanya, sedangkan di sisi lain dia melihat orang lain yang menurutnya tak lebih baik darinya, malah mendapatkan hal yang dia cita-citakan tersebut. Well, sebagai manusia, jujur, kalian pernah merasakan seperti ini kan? Aku sendiri, jujur, pernah. Bagaimana perasaan kita saat gagal ditambah melihat kesuksesan orang lain tepat di depan mata kita. Sedih? Iri? Benci? Anggap saja jawabannya YA. Pemikiran seperti itu terus tumbuh dan subur dalam pikiran kita sebagai seseorang yang gagal. Di situ mulai sang iblis durjana ikutan nimbrung, kasih masukan-masukan, bisikan-bisikan, dan nasihat-nasihat  yang na’udzubillah kalau sampai diikuti. Hati-hati sama penyakit hati. Setelah itu mulai muncul stres, frustasi dan jika tidak bisa ditahan lagi, maka akan masuk ke fase yang lebih parah. Paham kan maksudnya bagaimana?
           
Lanjut, paragraf baru (Semriwing juga ini mata kalau baca satu paragraf terlalu panjang seperti catatan hutang). Di situ aku mulai berpikir, ‘Apa sih yang kita cari dari sebuah keinginan, ambisi dan cita-cita? Kesuksesan, pujian, harta kekayaan, pangkat, gengsi, jabatan, kepuasan, membahagikan orang tua?’ Baiklah jika memang itu tujuannya. Tapi... coba dipikir lagi. Jika kita sudah sampai pada titik (maaf) terlena dengan keinginan duniawi tersebut, sehingga pikiran kita tidak terkontrol lagi, hingga jatuh sakit, apa semua tujuan tadi bisa tercapai? Probably, big NO. Sukses tidak didapatkan, gengsi mulai hilang, dan orangtua serta orang sekitar kita yang akan repot karena kita.

INTINYA, setiap hidup memiliki perjalanan. Tak ada yang semulus jalan tol. Jangan pernah libatkan iblis dalam rencana dan pikiranmu. Jika tak sanggup, cari seseorang yang bisa mendengarkan dan memberi solusi. Setidaknya, jika kamu hanya mendapatkan teman yang bisa mendengarkan namun belum bisa memberi solusi, sebenarnya itu sudah lebih dari cukup. Pada dasarnya, seseorang yang sedang dilanda permasalahan itu, butuh telinga yang bisa mendengarkannya. Untuk seorang pendengar, jika kamu tak bisa memberi solusi, silakan dengarkan saja sepenuh hati, namun jangan pernah berkomentar ‘mengompori’ yang dapat menambah stres lawan bicaramu.

Sebenarnya, ada hal lain yang ingin aku bahas dan menjadi inti dari tulisan ini. Bagian di atas, baru perkenalan, latar belakang, dan rumusan masalah. Bagaimana caraku mengatasi hal-hal yang aku utarakan di atas, bagaimana reaksiku ketika sudah mulai menerima kegagalan kemudian datang lagi kegagalan lain secara bertubi-tubi, hingga ada satu cara baru yang aku temukan untuk bisa menyadarkanku bahwa Allah itu dekat.

Hingga tulisan ini kutuliskan pada paragraf ini, aku masih belum berhasil, Kawan. Dulu, aku berniat untuk membagikan tulisanku di saat aku sudah layak dikatakan berhasil. Tapi ternyata, terlalu lama. Pada akhirnya aku menyadari, jika berbagi di saat berhasil saja, mungkin tidak akan terlalu merangkul pembaca karena aku tidak merasakan apa yang pembaca rasakan. Namun sekarang, jika keadaan dan emosi kalian hampir mirip dengan kondisi cerita di atas, percayalah aku juga sedang melalui apa yang kalian rasakan.

See U di cerita selanjutnya bagian 2!
Kapan? Doakan aku supaya tidak malas dan mager ya Yeorubun-deul J

Selasa, 22 Mei 2018

Review Reality Show : My Neighbor, Charles (KBS TV)


Selamat datang kembali di blog yang rada acakadut dan jarang update ini ^_^

Pada postingan kali ini, aku mau ngebahas mengenai salah satu reality show Korea yang judulnya "My Neighbor, Charles". Acara ini tu bukan yang menampilkan artis-artis, idol papan atas ataupun para entertainer yang biasa kamu lihat di acara-acara Korea. My Neighbor, Charles ini lebih fokus membahas mengenai kehidupan foreigner yang tinggal di Korea. 

Aku baru nonton beberapa episode, dimana orang asing yang jadi guest-nya itu adalah orang muslim. Mereka ada yang berasal dari Iran, Uzbekistan, dan juga Afghanistan. Kenapa mereka bisa datang ke Korea? Gimana kehidupan mereka di Korea? Apakah semua hal tentang kehidupan Korea pada kenyataannya sama dengan yang biasa kita lihat di layar kaca?

Sebelumnya, aku memang belum pernah ke Korea dan malah masih kurang banget pengetahuan mengenai negara-negara di dunia (Indonesia aja masih belum sempurna kenalnya, apalagi negara lain wey T_T). 

Salah satu alasan kepindahan mereka yang ingin aku bahas adalah ADANYA PEPERANGAN. Jadi 2 keluarga yang aku tonton itu, yang satu berasal dari Iran dan satu lagi dari Afghanistan, pindah ke Korea karena di negaranya terjadi perang. Istilahnya mereka mengungsi dan mencari keadaan hidup yang lebih tenang dari ancaman. 

Nah, apa setelah kepindahan mereka kehidupan jadi lebih baik? Menurutku, tidak semuanya. Karena pada awalnya, mereka adalah keluarga yang termasuk mampu, berkecukupan, atau malah kaya ya (?). Pokoknya begitu kira-kira. Tapi, ketika hijrah ke negara orang, mereka agak kesulitan dalam perekonomian dan keuangan, disebabkan perbedaan bahasa dan budaya. Karena di situ, kalau mau cari kerja harus bisa bahasa Korea. Trus kalau mau kayak bikin usaha sendiri, bahan baku di sana lumayan mahal.

Oke, singkatnya seperti itu. Intinya di sini yang ingin aku bahas sebenarnya adalah buat kita yang tinggal di Indonesia (apalagi aku ya, berasa mau ngomong ke diri sendiri, "Sadar sist negaramu juga indah, kamu aja yang mainnya kurang jauh. Negaramu nggak seburuk dan sengaco ang kamu kira.")

Pertama, kita lihat beberapa contoh negara Islam yang di sana terjadi perang, membuat beberapa penduduknya berpikir untuk pindah ke negara yang lebih aman. Kita juga tau, tempat baru, tentu akan memiliki perbedaan dari banyak sisi. Apalagi budaya dan agama. Saudara-saudara muslim kita, yang ditakdirkan Allah mereka hijrah ke Korea ini, juga nggak mudah tentunya untuk menerapkan kehidupan islam di sana. Ya seperti mau nyari makanan halal, style mereka yang berbeda dengan penduduk lokal (tau kan style Arab seperti apa?), trus menjalankan ibadah (apalagi buat anak-anak, mungkin mereka bisa aja berpikir, "Kok gua aja yang puasa, mereka nggak? Kenapa cuma gua yang salat 5x sehari, mereka malah seneng-seneng aja?"). Tapi Masya Allah-nya nih ya, ternyata mereka nggak menghilangkan nilai-nilai islam itu sama sekali. 

Perlu bukti? Di keluarga Iran, anak gadis yang perempuan dilarang keluar pergi main kalau nggak sama ayah atau saudaranya. Di keluarga Afghanistan, ketika syuting acaranya yang berupa kehidupan sehari-hari, si anak perempuan minta ga usah direkam pas dia membuka hijabnya (kayaknya kameramen dan staffnya pun cewek, soalnya cuma terdengar suara cewek). Salat, mereka rajin. Puasa apalagi, mesti tahan walaupun beraktivitas di tengah-tengah orang yang umumnya nggak menjalankan puasa.

Dari sini, kita yang di Indonesia gimana? Alhamdulillah, negaranya aman dan damai. Nggak ada gangguan yang membahayakan buat ibadah. Nggak perlu pindah ke tempat lain untuk menghindari ancaman perang. Nggak perlu mempelajari bahasa asing begitu ketat supaya bisa bergaul dan bersekolah. Jadi, nikmat mana lagi yang kita dustakan? Nggak mesti hidup susah berlumur tangis dan darah baru bergerak buat rajin ibadah, belajar, dan bekerja kan? Ingat, keadaan Indonesia belum separah negara lain yang saat ini hidupnya kurang tenang. Indonesia nggak se-"cacimakiable" yang kita pikir selama ini.

Kedua, hidup di tempat yang kita pikir enak, belum tentu enak sebelum kita benar-benar hidup dan menetap di sana. Contohnya aku sendiri yang mengira, hidup di Korea lebih enak dari Indonesia. Lebih menyenangkan di sana dari pada di sini. Analoginya, rumput tetangga lebih hijau 😂. 

Allah tau mana yang baik buat kita, dimana yang kita pikir itu buruk belum tentu buruk, yang kita pikir baik belum tentu baik.

Aku nggak mempermasalahkan keinginan buat berkunjung ke negara lain atau mau tinggal di negara manapun, asal untuk saat ini jangan menyimpulkan bahwa 'negara saya adalah negara yang paling terbelakang daripada negara lain, hidup negara saya lebih merana dari kehidupan negara lain.' Nggak semua kita yang udah mengunjungi Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke. Ada beribu bahkan mungkin ratusan ribu, rahasia keindahan negara ini yang belum kita tau. Dan lagi, tak semua orang mampu menerima kita secara tulus melebihi penerimaan yang kita terima di 'rumah kita sendiri'.

Pada akhirnya, aku ingin menyimpulkan, bahwa jangan pernah merasa menyesal lahir di negara Indonesia, jangan pernah berpikir "Kenapa saya tidak lahir di negara A, B, C atau D saja?" Qadarullah yang menitipkan buat kita brojol di Indonesia ini adalah yang terbaik. Serta kemanapun kita berada, ke negara mana pun kita pergi jangan lupa untuk membawa nilai-nilai dan moral yang sudah diajarkan oleh agama dan budaya daerah di negara kita yang umumnya mengajarkan bagaimana bersikap, berucap, dan bertatakrama

Terima kasih sudah membaca sampai kalimat terakhir ini. Mohon maaf jika ada kesalahan. :)
Happy fasting guys :D - Afzhi

Minggu, 22 April 2018

Orang Gila yang Terluka


    Konon katanya, mereka yang gila bukan karena kehendaknya. Sering yang menjadi tumbal alasannya adalah keadaan, padahal lebih dominan unsur kesengajaan. Misalnya seperti nasib Bambu, seorang korban kata-kata dan caci maki yang berujung pada hilangnya kewarasan dirinya. Garis hidupnya dicap buruk, belum lagi bisik-bisik warga yang tak lelah membuatnya makin terpuruk. Dulu, ia seorang yang cerdas. Bahkan, hitungan sulit matematika cukup ia kerjakan dengan kerjap mata. Namun, esok-esoknya keadaan berbalik, beberapa manusia yang iri sibuk mengurusi kelebihannya. Bambu dibuat mati akalnya. Makin hari keadaannya makin parah. Hitungan kembalian sisa belanja di warung Bu Kayu saja ditebak sesukanya.

    "Saya belanja lima belas ribu, tapi sayang saya cuma bawa dua puluh ribu. Uang saya kurang lima ribu kan Bu? Nanti saya antar lagi ke sini, saya ambil uang di rumah dulu."

    Awalnya Bu Kayu pusing, ribut menjelaskan soal uangnya yang seharusnya kembali lima ribu, bukan kurang lima ribu. Tapi Bambu masih kekeh. Dia yakin hitungannya benar. Bu Kayu pasrah, terserah dia saja mau hitung berapa. Namun, lama-lama kepasrahannya berubah menjadi keserakahan. Kabar itu tersiar ke seluruh desa. Dimana pun Bambu belanja, semua manusia akan membodohinya. Lama-lama uangnya habis. Bambu menyerah, tak lagi punya apa-apa. Otaknya makin bergeser. Hingga sampai pada puncaknya, ia gila dan membawa golok ke mana-mana. Dalam kegilaannya dia sadar, bahwa manusia telah menipunya. Setelah itu dia tak percaya lagi pada manusia dan membawa golok demi melindungi diri dari kekejaman mereka.

    Kabar kegilaan Bambu beredar cepat, secepat olok-olokan warga yang setiap hari menghantuinya. Apabila Bambu mengejar mereka karena marah, mereka akan bersumpah serapah, "Dasar gila! Pikirannya sudah tak ada! Pergi sana!" Malang memang kehidupan Bambu. Sudah dibuat gila, lalu disakiti lagi ketika telah gila. Hanya saja, mungkin mereka para manusia jahat itu lupa. Jika Bambu berdoa pada Tuhan, doanya yang lebih makbul di mata Yang Maha Kuasa. Dia tersiksa dan Tuhan lebih memerhatikannya. Tinggal mereka tunggu saja, jika Tuhan yang turun tangan. - RAW, 22/4/18