Damai Pulau
Seberang
Rahmi Afzhi
Wefielananda
Kakak,
apakah ini yang dinamakan surga? Aku menyukainya, Kak. Lihatlah, Kak. Tiada
lagi orang-orang yang menyakiti, menghina, dan mengucilkan kita. Kita bebas, Kak.
Bebas. Kak....
***
Aku ingat sekali malam itu, adalah
malam ketiga perut kami berteriak kelaparan. Kakak sudah mendengkur – walaupun kutahu
sebenarnya suara itu tidak keluar dari mulut, melainkan perutnya. Aku pun
kemudian berbaring di sampingnya, berharap juga dapat terlelap. Aku baru merebahkan kepala, dan tiba-tiba saja, kardus yang
menjadi ‘pintu’ rumah tercampak jauh. Sepertinya disepak oleh seseorang dari
luar sana.
“Hei! Enak saja kalian berdua tidur
di sini! Ini tempat kami!” Dengan kasar, dia menarik tanganku, lalu mendorongku
hingga terpelanting jauh. Aku tak sanggup berbuat apa-apa, badanku kecil
ditambah lagi tak bertenaga karena sudah berhari-hari tak diisi.
Ayolah
Kak. Bangunlah. Sebelum mereka juga melakukannya padamu.
Sebuah tinju melayang. Cukup keras,
sehingga bisa membuat seseorang yang kasar tadi lebam. Kakakku memang
pemberani. Setelah itu, balasan dari lawan juga tak dapat terelakkan. Saling
pukul, goret-goret luka dan darah mulai bermunculan. Namun Kakak belum
menyerah, hingga seseorang itu benar-benar tumbang dan tidak sanggup lagi
melawan.
“Kita hidup di alam yang tidak lagi
damai, Dik. Makan memakan itu bukan
lagi hal tabu. Jika kau ingin menang, beranilah untuk memakan atau kau akan dimakan.”
Aku mengangguk. Berani, memakan, aku
akan melakukannya, Kak. Tenang saja, semua petuahmu selalu kusimpan erat di
memoriku.
“Bicara masalah ‘makan’, kita sudah
lama tidak makan bukan? Mari kita mencari makan malam, dengan cara yang tidak damai di alam yang juga tak damai
ini.” Kakak mengerling ke arahku sambil tersenyum miring.
Aku kembali mengangguk. Aku tahu,
caranya yang tak damai itu, masih terasa lebih baik bagi penghuni alam ini.
Kakak, kita
akan mengeruk tong sampah di belakang restoran, bukan? Mencari nasi yang masih
berada dalam bungkusnya, walau sudah bergelas sisa.
***
Kak,
aku sudah berada di alam yang damai. Damai, tanpa kekerasan, tanpa kelaparan.
Aku bisa memetik buah-buahan yang ada, tanpa dimarahi pemiliknya. Kak, kebebasan
ini, aku tidak ingin ia berlalu.
***
Ia menaikkan kembali sesuatu yang ia
sebut masker itu. Padahal aku
terkikik, barang yang kakak kenakan begitu berbeda dengan yang dipakai oleh
orang lain. Walaupun tidak sekolah, aku juga masih bisa mendefinisikan
perbedaan antar barang. Aku tidak mengecap pendidikan, tapi aku tidak awam. Masker itu lembut, terbuat dari
kain, jika ingin bernapas tidak perlu membuka dan menutupnya seperti yang kakak
lakukan. Sedangkan masker buatan kakak, terbuat dari kantong kresek terbuang
yang ditemukan di jalanan. Penjinjingnya dikaitkan di kedua belah telinga.
Ketika bernapas, kantong itu akan mengembang dan mengempis. Karena itu, jika ia
sudah tak tahan lagi, kakak selalu membuka masker itu saat bernapas dan
menutupnya kembali setelah itu. Agak lucu memang, melihat kakak repot sendiri
saat menggunakannya.
“Sudah kubilang kan Dik, alam ini
tidak damai lagi. Dia sudah mengganas. Lihatlah, asap kabut ini adalah hasil
kejahatan alam ganas. Ia mengusik alam yang damai. Masih saja hukum makan memakan
terjadi. Yang kuat akan menghabisi yang lemah.” Kakak memandang jauh, diiringi
dengan kembang-kempisnya kantong plastik di mulutnya.
Aku mengangguk lagi. Kemudian
tersenyum.
Kakak,
aku juga mau masker seperti yang kau pakai.
“Nah, Dik.
Makanya kau harus memakai masker ini
juga. Kita harus melindungi diri dari kejahatan alam ini. Biarlah orang-orang
tertawa melihat yang kita kenakan. Mereka tidak tahu, karena telah terpengaruh
bersama keganasan alam ini.”
Kakak,
aku tahu yang engkau maksud. Jujur saja, perkataanmu sebentar ini adalah sebuah
ironi, bukan? Yang artinya adalah ‘Setidaknya mereka mau memberi kita sebuah
masker yang tak mampu kita beli’.
***
Kakak,
aku disayangi di sini. Benar katamu, alam ini begitu damai. Alam yang
kutinggali kini. Benar-benar sempurna, Kak.
***
Usulan kakak pagi itu begitu
mengejutkan. Ia mengajakku pergi menyeberangi pulau. Hari itu, kakakku tampak
sudah tidak tahan lagi. Sabarnya sudah habis. Ia ingin keluar dari zona yang
selama ini ia tinggali.
“Kita harus segera pergi, Dik. Ke
alam yang damai. Di seberang sana, ada tempat yang damai. Aku yakin itu. Di
sini sudah benar-benar tidak aman. Alam ganas telah berganti menjadi alam liar.
Kita bisa menyeberang sekarang.” Kakak begitu bersemangat.
Menyeberang?
Kakak, jangan bercanda. Apa kita punya kapal? Oh tidak, apa kita punya uang
untuk membeli kapal?
“Tumben kau tidak mengangguk, Dik?
Jangan ragu. Tuhan memberikan kita kemampuan. Kau bisa berenang, kan? Ayo kita
berenang menyeberang ke pulau sana.”
Aku ingin menolak saat itu, tapi aku
juga tidak mau mematahkan semangatnya. Hanya dia satu-satunya yang kumiliki.
Ibu-Ayah telah mendahului kami. Kuyakin dia tahu yang terbaik. Dia tak mungkin
berbicara tanpa berpikir panjang. Sudah kubilang, kami memang tidak bersekolah,
namun kami tidak awam.
Aku mengangguk.
“Bagus, ayo kita pergi sekarang.
Percayalah. Aku tidak ingin melukaimu.”
***
Esok harinya, kami telah bersiap
untuk pergi. Berjalan ke tepi laut, bersiap menyeberangi samudera. Kakakku
telah siap, aku juga siap. Hiu, paus, dan binatang buas lain bukanlah menjadi ‘penakut’
untuk kami.
“Jangan takut hiu, paus, ataupun
binatang laut lain. Dia sahabat kita. Alam kedamaian, di situlah tempatnya. Awal
permulaan hidup kita yang tenang.” Itulah kata kakak semalam.
Ombak pantai telah memanggil kami
untuk segera memulai perjalanan. Kakak memegang tanganku erat.
“Percayalah, aku selalu bersamamu.”
Aku menggangguk. Aku yakin, Kak. Kau menyayangiku.
***
Kak,
kini aku telah sampai di pulau yang kau impikan. Pulau tiada berpenghuni.
Dikelilingi hutan, dihuni bermacam binatang. Alam ini begitu damai, Kak. Aku
berteman dengan penghuninya. Aku tak bisa bicara dengan manusia, mereka bilang
aku bisu. Namun, aku bisa bercakap dengan mereka Kak, binatang penghuni hutan.
Aku berenang sampai garis akhir. Maafkan aku, Kak, telah membuatmu membuat
janji kepada hiu untuk melepaskanku. Kau rela menjadi santapannya, karena kau
tahu dia sahabatmu di alam kedamaian. Terimakasih, Kak. THE END.