Mengubah Subuh
Rahmi Afzhi
Wefielananda
Aku sudah rindu padanya. Kawan lama yang
telah meninggalkan kampung halaman beberapa tahun lalu untuk mengenyam
pendidikan. Bagaimanakah rupanya sekarang? Sudah hilangkah logat ‘minang’nya
saat berbicara Bahasa Indonesia? Bagaimana gayanya? Dan masih banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang terpikir di benakku.
Aku pergi menjemputnya ke bandara
bersama ibunya. Aku bukan keluarganya, tapi sudah dianggap saudara olehnya.
Kulihat wajah ibunya berseri-seri. Bahagia, gembira, dan ceria bertumpuk-tumpuk
tergambar di wajah beliau. Sudah lama aku tka melihat kebahagiaan seperti ini
dirasakannya semenjak anaknya merantau. Jika ditanya, apakah aku juga gembira
atau tidak, akan kujawab bahwa bahagiaku juga sedang membumbung. Sama seperti
ibunya, aku riang menyambut kepulangannya.
“Ris, si Dino kok lamo bana?” ibunya sudah mulai menunjukkan kegelisahan.
“Sabar, Bu. Mungkin sebentar lagi, Bu.
Kita tunggu saja ya, Bu,” jawabku.
Sebenarnya, aku juga tidak sabar
menunggunya. Banyak yang ingin kutanyakan padanya. Ingin kudengar ceritanya
mengenai tanah jawa, ramainya Jakarta dan perasaannya saat terbang dengan
pesawat di angkasa. Aku begitu penasaran, karena selama ini semua itu hanya
bisa kulihat lewat televisi saja. Maklum, aku masih ‘betah’ tinggal di kampung.
Menunggu kedatangannya, membuatku
teringat janji kami di masa lalu. Kami berdua akan sama-sama berkuliah di tanah
jawa. Dia punya cita-cita menjadi arsitek dan aku menjadi teknisi. Ah, sebuah
impian masa kecil yang menyenangkan. Masa kecil yang membuat kami bebas
berandai-andai. Kami berusaha dengan giat dan selalu memanjatkan doa. Namun
sepertinya, usaha dan doanya lebih besar dariku. Sehingga dia berhasil mencapai
citanya dan meninggalkanku yang belum ditakdirkan Tuhan untuk bisa ikut
dengannya. Aku tidak lolos pada tes saat itu.
Setahun kemudian, kucoba lagi mengikuti
segala macam tes untuk masuk kuliah. Syukur, aku bisa lulus di perguruan tinggi
di kota sebelah kampungku. Kini, aku ingin dia membagi ceritanya, agar terobati
kesedihan yang sempat melenggang di hatiku sebab tidak bisa ikut bersamanya.
Tiba-tiba seorang laki-laki seumuranku
menyadarkanku dari lamunan panjang. Dia adalah orang yang kuceritakan sedari
tadi. Namanya, Dino. Ditepuknya pundakku, kemudian menyalami ibunya yang
berdiri di sampingku. Kedua anak beranak itu berpelukan hangat. Air mata
menjadi lambang kebahagiaan yang tiada tara diantara keduanya. Aku juga terharu
melihatnya. Tanpa sadar, air mata yang telah kucoba menahannya menetes begitu
saja. Ah, bagaimana aku ini! Aku ini seorang laki-laki. Cengeng sekali. Tapi,
sudahlah. Air mataku sudah terlanjur menyibakkan diri dari bawah mataku.
“Bagaimana kabarmu, No? Kamu tampak
gagah dan berwiba,” ujarku memecah suasana.
“Seperti yang kau lihat. Aku sehat,”
jawabnya.
“Kamu sudah tampak berbeda, Nak. Ibu
sampai ragu melihatmu tadi. Sudah bergaya kota. Ibu senang melihatnya,” ibunya
juga turut berbicara.
“Ya, Bu. Gaya seperti ini sudah biasa di
ibu kota,” jawabnya lagi. Terdengar sangat datar. Sepertinya kerinduannya tidak
sebesar kerinduanku dan ibunya. Rindunya seperti sudah menguap bersama pelukan
pertemuan sebentar ini. Aku mengernyitkan dahi, namun mencoba berbaik sangka
saja padanya.
* * *
Sudah
lima hari Dino pulang. Namun, kerinduanku padanya sebagai kawan lama masih
belum terobati. Mungkin jika boleh kubertanya pada ibunya, pikirannya juga akan
sama denganku. Dia ada, namun hanya badannya. Pikirannya entah kemana. Setiap
bertemu dengannya, aku jarang berbicara. Dia terlalu sibuk dengan handphone yang setiap saat berdering,
kemudian sibuk memencet-mencet tombolnya melalui layar. Aku bagaikan bayangan
yang tak tampak olehnya.
Setiap
subuh, aku selalu ke rumahnya untuk mengajak pergi shalat subuh berjamaah ke
surau. Hal itu biasa kami lakukan sebelum kepergiannya untuk merantau. Kami
begitu senang melakukannya. Rasanya, Allah memberikan kesejukan yang tak
berbatas saat kami menghirup udara di subuh hari saat berjalan menuju suaru.
“Kita
harus selalu seperti ini, Ris. Bangun subuh, shalat ke surau dan menikmati indahnya
pagi. Semoga kita bisa jadi anak yang shaleh seperti yang diinginkan orang tua
kita,” ucapnya padaku suatu ketika saat kami berjalan menuju surau.
“Iya.
Kita harus bertekad dan berjanji, No. Kita ini adalah anak nagari, aset bangsa yang harus taat beragama,” aku sependapat
dengannya.
Tetapi,
kini dia tidak sependapat denganku. Setiap kumengetuk pintu rumahnya, selalu
ibunya yang membukakan pintu. Selalu juga, aku tak berhasil bertemu dengannya
karena dia masih tidur. Ibunya berbicara, dia sangat sulit untuk dibangunkan.
Malah menjawab dengan bentakan pada ibunya. Kucoba juga untuk membangunkannya,
hasilnya tetap nihil. Aku juga dibentak seperti ibunya.
“Kalau
mau pergi, pergi saja sendiri! Aku mengantuk! Ang tidak lihat kalau ambo
sedang tidur?”
Setiap
hari, setiap subuh, selalu seperti itu. Kumengunjungi rumahnya dan mendapat
bentakan saat membangunkannya. Setiap subuh pula, aku pergi ke surau bersama
ibunya untuk membimbingnya berjalan. Beliau ingin ikut shalat di surau, namun
kakinya tidak terlalu kuat untuk berjalan jauh. Akhirnya, aku yang membantu
membimbing beliau hingga sampai di surau.
Dino
yang kini, telah berubah dari Dino yang dulu kukenal. Kehidupannya sehari-hari
hanya bertemankan telepon genggam sembari bersantai-santai ria. Ibunya sibuk
melakukan berbagai cara untuk melampiaskan kerinduannya yang telah lama
terpendam. Namun sayang, Dino hanya menanggapi dengan dingin. Bagiku, biarlah
dia tidak menganggapku, namun jangan sampai ibunya yang dibiarkan lontang-lantung sendiri tanpa respon darinya.
Subuhnya
selalu terlewatkan. Bagiku, biarlah aku dibentak dan dibiarkan ke suaru
sendiri. Namun, jangan sampai dia membentak ibunya juga dan membiarkan beliau
tertatih-tatih sendiri menuju surau. Bukan hanya subuh yang terlewat, namun aku
juga mendapat cerita dari ibunya shalat lima waktu telah ‘lupa’ dikerjakannya.
Pernah
kuperingatinya sekali, namun akhirnya pertengakaran yang terjadi. Kami berdebat
dan hampir batinju jika ibunya tak
melerai. Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi rumahnya. Entah untuk
menanyakan bagaimana keadaan tanah jawa dan kehidupannya atau untuk mengajaknya
ke surau saat subuh tiba. Pupus sudah impianku untuk memintanya berbagi cerita.
Dia sudah keras, hingga hatinya juga turut mengeras.
Hingga
suatu subuh, aku melihat sebuah kejanggalan. Seperti biasa, aku berjalan
sendiri ke surau dengan melewati jalan ke rumah Dino. Rumahnya berdekatan
dengan surau, sehingga untuk pergi menuju surau, aku selalu lewat di depan
rumahnya. Saat itulah hal yang janggal itu terjadi. Kulihat dua orang laki-laki
baru saja melangkah keluar dari rumah Dino. Aku penasaran dengan mereka. Hingga
kuamati secara seksama siapa mereka. Aku tersentak dan kaget. Mengapa beliau
berdua ada di sini?
Beliau
berdua adalah ayah dan mamak Dino
yang sudah meninggal. Beliau berdua terkenal alim dan tetua di kampung kami.
Namun kini, aku melihat beliau berdua secara nyata. Tubuhku menggigil. Kucoba
membuat pertahanan agar tubuhku tidak pingsan karena ketakutan. Kulafazkan
dzikir-dzikir yang kuketahui, karena kutahu kekuatan Allah lebih kuat dari
apapun. Tiba-tiba kulihat juga Dino melangkah keluar rumah menggunakan baju
koko, sarung dan peci. Dia melambaikan tangan ke arahku.
“Ris,
ayo ke surau!” soraknya. Aku ternganga tak percaya. Kukucek-kucek mataku untuk
memastikan.
“Dino?”
tanyaku ragu.
“Ya,
ini aku. Aku baru saja bermimpi bertemu dengan ayah dan mamakku. Beliau berdua
memarahi dan menasihatiku. Aku takut melihat mereka yang begitu murka. Hal itu
membuatku tersadar dan bangun dari tidurku. Kini, aku baru saja tersentak dari
kesalahan yang kuperbuat,” jelasnya tanpa kuminta.
“Apa?
Ayah dan mamakmu?” aku terkaget. Jadi yang kulihat tadi...
* * * SELESAI * * *
kak, gimana caranya ngirim cerpen ke haluan kak?
BalasHapus