Minggu, 12 April 2015

Cerpen saya yang dimuat di Koran Haluan, 22 Februari 2015

Mengubah Subuh
Rahmi Afzhi Wefielananda

Aku sudah rindu padanya. Kawan lama yang telah meninggalkan kampung halaman beberapa tahun lalu untuk mengenyam pendidikan. Bagaimanakah rupanya sekarang? Sudah hilangkah logat ‘minang’nya saat berbicara Bahasa Indonesia? Bagaimana gayanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang terpikir di benakku.
Aku pergi menjemputnya ke bandara bersama ibunya. Aku bukan keluarganya, tapi sudah dianggap saudara olehnya. Kulihat wajah ibunya berseri-seri. Bahagia, gembira, dan ceria bertumpuk-tumpuk tergambar di wajah beliau. Sudah lama aku tka melihat kebahagiaan seperti ini dirasakannya semenjak anaknya merantau. Jika ditanya, apakah aku juga gembira atau tidak, akan kujawab bahwa bahagiaku juga sedang membumbung. Sama seperti ibunya, aku riang menyambut kepulangannya.
“Ris, si Dino kok lamo bana?” ibunya sudah mulai menunjukkan kegelisahan.
“Sabar, Bu. Mungkin sebentar lagi, Bu. Kita tunggu saja ya, Bu,” jawabku.
Sebenarnya, aku juga tidak sabar menunggunya. Banyak yang ingin kutanyakan padanya. Ingin kudengar ceritanya mengenai tanah jawa, ramainya Jakarta dan perasaannya saat terbang dengan pesawat di angkasa. Aku begitu penasaran, karena selama ini semua itu hanya bisa kulihat lewat televisi saja. Maklum, aku masih ‘betah’ tinggal di kampung.
Menunggu kedatangannya, membuatku teringat janji kami di masa lalu. Kami berdua akan sama-sama berkuliah di tanah jawa. Dia punya cita-cita menjadi arsitek dan aku menjadi teknisi. Ah, sebuah impian masa kecil yang menyenangkan. Masa kecil yang membuat kami bebas berandai-andai. Kami berusaha dengan giat dan selalu memanjatkan doa. Namun sepertinya, usaha dan doanya lebih besar dariku. Sehingga dia berhasil mencapai citanya dan meninggalkanku yang belum ditakdirkan Tuhan untuk bisa ikut dengannya. Aku tidak lolos pada tes saat itu.
Setahun kemudian, kucoba lagi mengikuti segala macam tes untuk masuk kuliah. Syukur, aku bisa lulus di perguruan tinggi di kota sebelah kampungku. Kini, aku ingin dia membagi ceritanya, agar terobati kesedihan yang sempat melenggang di hatiku sebab tidak bisa ikut bersamanya.
Tiba-tiba seorang laki-laki seumuranku menyadarkanku dari lamunan panjang. Dia adalah orang yang kuceritakan sedari tadi. Namanya, Dino. Ditepuknya pundakku, kemudian menyalami ibunya yang berdiri di sampingku. Kedua anak beranak itu berpelukan hangat. Air mata menjadi lambang kebahagiaan yang tiada tara diantara keduanya. Aku juga terharu melihatnya. Tanpa sadar, air mata yang telah kucoba menahannya menetes begitu saja. Ah, bagaimana aku ini! Aku ini seorang laki-laki. Cengeng sekali. Tapi, sudahlah. Air mataku sudah terlanjur menyibakkan diri dari bawah mataku.
“Bagaimana kabarmu, No? Kamu tampak gagah dan berwiba,” ujarku memecah suasana.
“Seperti yang kau lihat. Aku sehat,” jawabnya.
“Kamu sudah tampak berbeda, Nak. Ibu sampai ragu melihatmu tadi. Sudah bergaya kota. Ibu senang melihatnya,” ibunya juga turut berbicara.
“Ya, Bu. Gaya seperti ini sudah biasa di ibu kota,” jawabnya lagi. Terdengar sangat datar. Sepertinya kerinduannya tidak sebesar kerinduanku dan ibunya. Rindunya seperti sudah menguap bersama pelukan pertemuan sebentar ini. Aku mengernyitkan dahi, namun mencoba berbaik sangka saja padanya.
* * *
            Sudah lima hari Dino pulang. Namun, kerinduanku padanya sebagai kawan lama masih belum terobati. Mungkin jika boleh kubertanya pada ibunya, pikirannya juga akan sama denganku. Dia ada, namun hanya badannya. Pikirannya entah kemana. Setiap bertemu dengannya, aku jarang berbicara. Dia terlalu sibuk dengan handphone yang setiap saat berdering, kemudian sibuk memencet-mencet tombolnya melalui layar. Aku bagaikan bayangan yang tak tampak olehnya.
            Setiap subuh, aku selalu ke rumahnya untuk mengajak pergi shalat subuh berjamaah ke surau. Hal itu biasa kami lakukan sebelum kepergiannya untuk merantau. Kami begitu senang melakukannya. Rasanya, Allah memberikan kesejukan yang tak berbatas saat kami menghirup udara di subuh hari saat berjalan menuju suaru.
            “Kita harus selalu seperti ini, Ris. Bangun subuh, shalat ke surau dan menikmati indahnya pagi. Semoga kita bisa jadi anak yang shaleh seperti yang diinginkan orang tua kita,” ucapnya padaku suatu ketika saat kami berjalan menuju surau.
            “Iya. Kita harus bertekad dan berjanji, No. Kita ini adalah anak nagari, aset bangsa yang harus taat beragama,” aku sependapat dengannya.
            Tetapi, kini dia tidak sependapat denganku. Setiap kumengetuk pintu rumahnya, selalu ibunya yang membukakan pintu. Selalu juga, aku tak berhasil bertemu dengannya karena dia masih tidur. Ibunya berbicara, dia sangat sulit untuk dibangunkan. Malah menjawab dengan bentakan pada ibunya. Kucoba juga untuk membangunkannya, hasilnya tetap nihil. Aku juga dibentak seperti ibunya.
            “Kalau mau pergi, pergi saja sendiri! Aku mengantuk! Ang tidak lihat kalau ambo sedang tidur?”
            Setiap hari, setiap subuh, selalu seperti itu. Kumengunjungi rumahnya dan mendapat bentakan saat membangunkannya. Setiap subuh pula, aku pergi ke surau bersama ibunya untuk membimbingnya berjalan. Beliau ingin ikut shalat di surau, namun kakinya tidak terlalu kuat untuk berjalan jauh. Akhirnya, aku yang membantu membimbing beliau hingga sampai di surau.
            Dino yang kini, telah berubah dari Dino yang dulu kukenal. Kehidupannya sehari-hari hanya bertemankan telepon genggam sembari bersantai-santai ria. Ibunya sibuk melakukan berbagai cara untuk melampiaskan kerinduannya yang telah lama terpendam. Namun sayang, Dino hanya menanggapi dengan dingin. Bagiku, biarlah dia tidak menganggapku, namun jangan sampai ibunya yang dibiarkan lontang-lantung sendiri tanpa respon darinya.
            Subuhnya selalu terlewatkan. Bagiku, biarlah aku dibentak dan dibiarkan ke suaru sendiri. Namun, jangan sampai dia membentak ibunya juga dan membiarkan beliau tertatih-tatih sendiri menuju surau. Bukan hanya subuh yang terlewat, namun aku juga mendapat cerita dari ibunya shalat lima waktu telah ‘lupa’ dikerjakannya.
            Pernah kuperingatinya sekali, namun akhirnya pertengakaran yang terjadi. Kami berdebat dan hampir batinju jika ibunya tak melerai. Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi rumahnya. Entah untuk menanyakan bagaimana keadaan tanah jawa dan kehidupannya atau untuk mengajaknya ke surau saat subuh tiba. Pupus sudah impianku untuk memintanya berbagi cerita. Dia sudah keras, hingga hatinya juga turut mengeras.
            Hingga suatu subuh, aku melihat sebuah kejanggalan. Seperti biasa, aku berjalan sendiri ke surau dengan melewati jalan ke rumah Dino. Rumahnya berdekatan dengan surau, sehingga untuk pergi menuju surau, aku selalu lewat di depan rumahnya. Saat itulah hal yang janggal itu terjadi. Kulihat dua orang laki-laki baru saja melangkah keluar dari rumah Dino. Aku penasaran dengan mereka. Hingga kuamati secara seksama siapa mereka. Aku tersentak dan kaget. Mengapa beliau berdua ada di sini?
            Beliau berdua adalah ayah dan mamak Dino yang sudah meninggal. Beliau berdua terkenal alim dan tetua di kampung kami. Namun kini, aku melihat beliau berdua secara nyata. Tubuhku menggigil. Kucoba membuat pertahanan agar tubuhku tidak pingsan karena ketakutan. Kulafazkan dzikir-dzikir yang kuketahui, karena kutahu kekuatan Allah lebih kuat dari apapun. Tiba-tiba kulihat juga Dino melangkah keluar rumah menggunakan baju koko, sarung dan peci. Dia melambaikan tangan ke arahku.
            “Ris, ayo ke surau!” soraknya. Aku ternganga tak percaya. Kukucek-kucek mataku untuk memastikan.
            “Dino?” tanyaku ragu.
            “Ya, ini aku. Aku baru saja bermimpi bertemu dengan ayah dan mamakku. Beliau berdua memarahi dan menasihatiku. Aku takut melihat mereka yang begitu murka. Hal itu membuatku tersadar dan bangun dari tidurku. Kini, aku baru saja tersentak dari kesalahan yang kuperbuat,” jelasnya tanpa kuminta.
            “Apa? Ayah dan mamakmu?” aku terkaget. Jadi yang kulihat tadi...
* * * SELESAI * * *


1 komentar: