Minggu, 11 Oktober 2015

Cerpen bertema Alam Liar @KampusFiksi

Damai Pulau Seberang
Rahmi Afzhi Wefielananda

Kakak, apakah ini yang dinamakan surga? Aku menyukainya, Kak. Lihatlah, Kak. Tiada lagi orang-orang yang menyakiti, menghina, dan mengucilkan kita. Kita bebas, Kak. Bebas. Kak....
***
            Aku ingat sekali malam itu, adalah malam ketiga perut kami berteriak kelaparan. Kakak sudah mendengkur – walaupun kutahu sebenarnya suara itu tidak keluar dari mulut, melainkan perutnya. Aku pun kemudian berbaring di sampingnya, berharap juga dapat terlelap. Aku baru merebahkan kepala, dan tiba-tiba saja, kardus yang menjadi ‘pintu’ rumah tercampak jauh. Sepertinya disepak oleh seseorang dari luar sana.
            “Hei! Enak saja kalian berdua tidur di sini! Ini tempat kami!” Dengan kasar, dia menarik tanganku, lalu mendorongku hingga terpelanting jauh. Aku tak sanggup berbuat apa-apa, badanku kecil ditambah lagi tak bertenaga karena sudah berhari-hari tak diisi.
            Ayolah Kak. Bangunlah. Sebelum mereka juga melakukannya padamu.
            Sebuah tinju melayang. Cukup keras, sehingga bisa membuat seseorang yang kasar tadi lebam. Kakakku memang pemberani. Setelah itu, balasan dari lawan juga tak dapat terelakkan. Saling pukul, goret-goret luka dan darah mulai bermunculan. Namun Kakak belum menyerah, hingga seseorang itu benar-benar tumbang dan tidak sanggup lagi melawan.
            “Kita hidup di alam yang tidak lagi damai, Dik. Makan memakan itu bukan lagi hal tabu. Jika kau ingin menang, beranilah untuk memakan atau kau akan dimakan.”
            Aku mengangguk. Berani, memakan, aku akan melakukannya, Kak. Tenang saja, semua petuahmu selalu kusimpan erat di memoriku.
            “Bicara masalah ‘makan’, kita sudah lama tidak makan bukan? Mari kita mencari makan malam, dengan cara yang tidak damai di alam yang juga tak damai ini.” Kakak mengerling ke arahku sambil tersenyum miring.
            Aku kembali mengangguk. Aku tahu, caranya yang tak damai itu, masih terasa lebih baik bagi penghuni alam ini.
Kakak, kita akan mengeruk tong sampah di belakang restoran, bukan? Mencari nasi yang masih berada dalam bungkusnya, walau sudah bergelas sisa.
***
            Kak, aku sudah berada di alam yang damai. Damai, tanpa kekerasan, tanpa kelaparan. Aku bisa memetik buah-buahan yang ada, tanpa dimarahi pemiliknya. Kak, kebebasan ini, aku tidak ingin ia berlalu.
***
            Ia menaikkan kembali sesuatu yang ia sebut masker itu. Padahal aku terkikik, barang yang kakak kenakan begitu berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain. Walaupun tidak sekolah, aku juga masih bisa mendefinisikan perbedaan antar barang. Aku tidak mengecap pendidikan, tapi aku tidak awam. Masker itu lembut, terbuat dari kain, jika ingin bernapas tidak perlu membuka dan menutupnya seperti yang kakak lakukan. Sedangkan masker buatan kakak, terbuat dari kantong kresek terbuang yang ditemukan di jalanan. Penjinjingnya dikaitkan di kedua belah telinga. Ketika bernapas, kantong itu akan mengembang dan mengempis. Karena itu, jika ia sudah tak tahan lagi, kakak selalu membuka masker itu saat bernapas dan menutupnya kembali setelah itu. Agak lucu memang, melihat kakak repot sendiri saat menggunakannya.
            “Sudah kubilang kan Dik, alam ini tidak damai lagi. Dia sudah mengganas. Lihatlah, asap kabut ini adalah hasil kejahatan alam ganas. Ia mengusik alam yang damai. Masih saja hukum makan memakan terjadi. Yang kuat akan menghabisi yang lemah.” Kakak memandang jauh, diiringi dengan kembang-kempisnya kantong plastik di mulutnya.
            Aku mengangguk lagi. Kemudian tersenyum.
            Kakak, aku juga mau masker seperti yang kau pakai.
            “Nah, Dik. Makanya kau harus memakai masker ini juga. Kita harus melindungi diri dari kejahatan alam ini. Biarlah orang-orang tertawa melihat yang kita kenakan. Mereka tidak tahu, karena telah terpengaruh bersama keganasan alam ini.”
            Kakak, aku tahu yang engkau maksud. Jujur saja, perkataanmu sebentar ini adalah sebuah ironi, bukan? Yang artinya adalah ‘Setidaknya mereka mau memberi kita sebuah masker yang tak mampu kita beli’.
***
            Kakak, aku disayangi di sini. Benar katamu, alam ini begitu damai. Alam yang kutinggali kini. Benar-benar sempurna, Kak.
***
            Usulan kakak pagi itu begitu mengejutkan. Ia mengajakku pergi menyeberangi pulau. Hari itu, kakakku tampak sudah tidak tahan lagi. Sabarnya sudah habis. Ia ingin keluar dari zona yang selama ini ia tinggali.
            “Kita harus segera pergi, Dik. Ke alam yang damai. Di seberang sana, ada tempat yang damai. Aku yakin itu. Di sini sudah benar-benar tidak aman. Alam ganas telah berganti menjadi alam liar. Kita bisa menyeberang sekarang.” Kakak begitu bersemangat.
            Menyeberang? Kakak, jangan bercanda. Apa kita punya kapal? Oh tidak, apa kita punya uang untuk membeli kapal?
            “Tumben kau tidak mengangguk, Dik? Jangan ragu. Tuhan memberikan kita kemampuan. Kau bisa berenang, kan? Ayo kita berenang menyeberang ke pulau sana.”
            Aku ingin menolak saat itu, tapi aku juga tidak mau mematahkan semangatnya. Hanya dia satu-satunya yang kumiliki. Ibu-Ayah telah mendahului kami. Kuyakin dia tahu yang terbaik. Dia tak mungkin berbicara tanpa berpikir panjang. Sudah kubilang, kami memang tidak bersekolah, namun kami tidak awam.
            Aku mengangguk.
            “Bagus, ayo kita pergi sekarang. Percayalah. Aku tidak ingin melukaimu.”
***
            Esok harinya, kami telah bersiap untuk pergi. Berjalan ke tepi laut, bersiap menyeberangi samudera. Kakakku telah siap, aku juga siap. Hiu, paus, dan binatang buas lain bukanlah menjadi ‘penakut’ untuk kami.
            “Jangan takut hiu, paus, ataupun binatang laut lain. Dia sahabat kita. Alam kedamaian, di situlah tempatnya. Awal permulaan hidup kita yang tenang.” Itulah kata kakak semalam.
            Ombak pantai telah memanggil kami untuk segera memulai perjalanan. Kakak memegang tanganku erat.
            “Percayalah, aku selalu bersamamu.”
            Aku menggangguk. Aku yakin, Kak. Kau menyayangiku.
***

            Kak, kini aku telah sampai di pulau yang kau impikan. Pulau tiada berpenghuni. Dikelilingi hutan, dihuni bermacam binatang. Alam ini begitu damai, Kak. Aku berteman dengan penghuninya. Aku tak bisa bicara dengan manusia, mereka bilang aku bisu. Namun, aku bisa bercakap dengan mereka Kak, binatang penghuni hutan. Aku berenang sampai garis akhir. Maafkan aku, Kak, telah membuatmu membuat janji kepada hiu untuk melepaskanku. Kau rela menjadi santapannya, karena kau tahu dia sahabatmu di alam kedamaian. Terimakasih, Kak.  THE END.

Kamis, 23 April 2015

Si Sekedar : Mahasiswa Bukan Sekedar Mahasiswa, Kuliah Bukan Sekedar Kuliah.

Dahulu, saat masa kanak-kanak (red : sebelum kuliah), saya rasa kuliah adalah dunia yang menyenangkan seutuhnya. Jika kau lihat di televisi, kau bisa datang berkuliah sesuka hatimu dan melakukan aktivitas-aktivitas yang kau suka. Belum lagi kau datang menjadi salah satu mahasiswa di perguruan tinggi yang menurutmu bergengsi. Alangkah bahagianya bila kau dapat belajar dan menempuh pendidikan di sana. Saat itu, kau berpikir, bahwa kuliah adalah jenjang masa depan. Sibuk mencari-cari jurusan yang dianggap memiliki hubungan dengan cita-citamu. Tapi, itu dulu.. Sebelum saya benar-benar paham mengenai hidup saat ini. 


Mungkin, sebaiknya saya awali dulu pembahasan saya dengan sebuah cerita. Ini mengenai perjuangan anak manusia. Yang haus akan kebanggaan dan kebahagiaan. Sebelum saya benar-benar menjalani kehidupan Perguruan Tinggi, saya benar-benar berada dalam fase 'kesombongan'. Hal itu sudah dimulai, sejak awal pemilihan jurusan dan PTN yang akan saya ambil. Entah keserakahan entah itu namanya kesombongan. Denagn percaya diri, saya memilih jurusan dan PTN yang 'tinggi' untuk dapat saya masuki, tanpa memilih yang saya pikir dapat memberikan saya untuk lulus di PTN. Sebut saja, tes itu bernama SNMPTN.


SNMPTN, bukanlah hal yang mudah untuk ditembus. Persaingan berpuluh ribu pelajar se-Indonesia, membuat saya juga ikut 'terdepak' dari orang yang dapat lulus di SNMPTN. Setelah itu, perjuangan berlanjut hingga saya mengikuti tes SBMPTN. Saat itu, saya memang berada dalam suasana yang kalut. Kesombongan dan keangkuhan masih saya 'peluk' waktu itu. Hingga masih saja bersikeras untuk memilih jurusan dan PTN yang semuanya 'tinggi'. Namun, berkat 'nasihat' dari orang tua, saya membuat pilihan dan akhirnya Alhamdulillah saya dapat lulus di jurusan dan PTN yang tidak saya sangka dan 'tidak saya suka'. 

Jika berbicara masalah kelulusan dan cara pemilihan saya untuk memasuki perguruan tinggi, mungkin akan panjang pembahasannya. Jika saya ada kesempatan, Insya Allah akan saya bagi mengenai perjalanan saya saat berjuang untuk bisa masuk PTN dan harus menerima takdir terbaik yang diberikan Allah pada saya. Mudah-mudahan saya bisa share pengalaman saya.

Namun, kali ini sebenarnya saya ingin membagikan pengalaman yang saya dapatkan semasa kuliah dan tepatnya saya alami akhir-akhir ini.

Sahabat, tahukah Anda? Saat Anda berkuliah, Anda akan berjumpa bermacam ragam watak manusia. Anda yang sudah bisa berpikir dewasa, namun ada juga yang berpikiran sebagaimana anak-anak yang membuatmu kadang harus memutar balik otak untuk dapat berinteraksi dengan baik satu sama lain.

Dahulu, waktu saya baru menduduki bangku kuliah, saya pernah mendengat kata-kata, 'Welcome to the jungle'. Awalnya, saya berpikir, ini gila. Mana mungkin kita memasuki kawasan yang berisi manusia diibaratkan bagai hutan. Tentu Anda paham maksud saya. Semakin kemari, saya makin paham. Bahwa jungle yang dimaksud adalah tempat yang dihuni oleh banyak manusia yang berbeda-beda karakternya. Ada yang bersikap bak seorang raja, menjadi seorang pemangsa, ada yang menjadi pengikut raja, dan banyak lagi karakter-karakter lainnya.

Namun, diluar semua itu, pahamilah arti MAHASISWA. Jangan bertindak, seakan-akan Anda hanya memandang kampus dari segi jungle saja. Pahamilah, bahwa dunia yang sedang Anda tempuh, begitu besar. Besar rintangannya, besar masalahnya, dan besar pemikirannya. 

Saya sangat kasihan bahkan iba, melihat seseorang yang berkuliah hanya berkuta pada nilai. Bahkan menjadikannya sebagai tombak-tombak yang akan menghunus. Memang, nilai itu penting. Saya tidak memungkirinya. Bahkan saya pun berpikir demikian. Namun, jangan sampai Anda dan saya menjadikan nilai sebagai persaingan. Tahukah Anda, kita bukan anak SD atau anak kecil lagi. Yang masih bersaing untuk menjadi juara. Saya rasa, Anda akan mengerti maksud saya.

Persaingan saat mendapatkan nilai, saya rasakan adalah hal yang benar-benar kekanak-kanakan bagi seorang Mahasiswa. Saat ini, Anda bukan lagi mencari juara kelas atau terpintar di kelas. Namun, Anda sedang dalam proses untuk menjadi Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan bermartabat bagi Indonesia. Jika Anda ingin mendapatkan nilai yang baik, maka berjuanglah. Mohonlah pada yang Maha Kuasa. Pintalah ridho kedua orang tua. Belajarlah semaksimal yang Anda bisa.

Jangan lakukan hal-hal yang 'mencoreng' muka Anda sendiri saat Anda menjadi mahasiwa. Mahasiswa yang hanya mencari nilai dan dengan jalan yang sia-sia. Anda ingin berbuat curang saat ujian, atau bahkan menjatuhkan orang yang Anda kira lebih hebat dari pada Anda. Sungguh, saya pikir, ini bukanlah Mahasiswa Indonesia yang seharusnya.

Kita tentu punya hati kecil. Jika dulu Anda begitu bahagia saat memasuki bangku kuliah, lalu apa Anda bahagia dengan hasil yang Anda dapatkan saat kuliah? Apa dengan keirian dan kecurangan Anda dapat bahagia? Anda bisa jawab dengan hati kecil Anda.

Saya pun begitu. Saya juga sedang mencoba 'melecut' diri saya sendiri. Namun, yang saya dapatkan dari kehidupan saya, inilah adanya. Kuliah, bukan hanya sekedar nilai. Sukses, bukan hanya ditentukan oleh nilai Anda. Tapi ridho dan izin Yang Maha Kuasa serta ridho orangtua.

Anda juga hrus memiliki kepribadian yang harus terus berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, sosial Anda dengan masyarakat yyang Anda temui setiap hari haruslah baik, etika, sikap, dan cara berpikir Anda dan saya perlu diubah,

Sepertinya, saya terlalu mendikte dalam tulisan saya kali ini. Namun, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin saya, Anda, dan kita semua bisa berubah. Kuliah, bukan hanya sekedar datang, duduk, dan mencari nilai. Namun, makna 'Kuliah' itu sendiri begitu luas.

Saya ingin mengutip pesan-pesan dari Buya Hamka :
Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup.
Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.

Jadi, jangan hanya sekedar menjadi mahasiswa karena Anda dan saya hanya akan jadi si 'sekedar'nya.

Minggu, 12 April 2015

Cerpen saya yang dimuat di Koran Haluan, 22 Februari 2015

Mengubah Subuh
Rahmi Afzhi Wefielananda

Aku sudah rindu padanya. Kawan lama yang telah meninggalkan kampung halaman beberapa tahun lalu untuk mengenyam pendidikan. Bagaimanakah rupanya sekarang? Sudah hilangkah logat ‘minang’nya saat berbicara Bahasa Indonesia? Bagaimana gayanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang terpikir di benakku.
Aku pergi menjemputnya ke bandara bersama ibunya. Aku bukan keluarganya, tapi sudah dianggap saudara olehnya. Kulihat wajah ibunya berseri-seri. Bahagia, gembira, dan ceria bertumpuk-tumpuk tergambar di wajah beliau. Sudah lama aku tka melihat kebahagiaan seperti ini dirasakannya semenjak anaknya merantau. Jika ditanya, apakah aku juga gembira atau tidak, akan kujawab bahwa bahagiaku juga sedang membumbung. Sama seperti ibunya, aku riang menyambut kepulangannya.
“Ris, si Dino kok lamo bana?” ibunya sudah mulai menunjukkan kegelisahan.
“Sabar, Bu. Mungkin sebentar lagi, Bu. Kita tunggu saja ya, Bu,” jawabku.
Sebenarnya, aku juga tidak sabar menunggunya. Banyak yang ingin kutanyakan padanya. Ingin kudengar ceritanya mengenai tanah jawa, ramainya Jakarta dan perasaannya saat terbang dengan pesawat di angkasa. Aku begitu penasaran, karena selama ini semua itu hanya bisa kulihat lewat televisi saja. Maklum, aku masih ‘betah’ tinggal di kampung.
Menunggu kedatangannya, membuatku teringat janji kami di masa lalu. Kami berdua akan sama-sama berkuliah di tanah jawa. Dia punya cita-cita menjadi arsitek dan aku menjadi teknisi. Ah, sebuah impian masa kecil yang menyenangkan. Masa kecil yang membuat kami bebas berandai-andai. Kami berusaha dengan giat dan selalu memanjatkan doa. Namun sepertinya, usaha dan doanya lebih besar dariku. Sehingga dia berhasil mencapai citanya dan meninggalkanku yang belum ditakdirkan Tuhan untuk bisa ikut dengannya. Aku tidak lolos pada tes saat itu.
Setahun kemudian, kucoba lagi mengikuti segala macam tes untuk masuk kuliah. Syukur, aku bisa lulus di perguruan tinggi di kota sebelah kampungku. Kini, aku ingin dia membagi ceritanya, agar terobati kesedihan yang sempat melenggang di hatiku sebab tidak bisa ikut bersamanya.
Tiba-tiba seorang laki-laki seumuranku menyadarkanku dari lamunan panjang. Dia adalah orang yang kuceritakan sedari tadi. Namanya, Dino. Ditepuknya pundakku, kemudian menyalami ibunya yang berdiri di sampingku. Kedua anak beranak itu berpelukan hangat. Air mata menjadi lambang kebahagiaan yang tiada tara diantara keduanya. Aku juga terharu melihatnya. Tanpa sadar, air mata yang telah kucoba menahannya menetes begitu saja. Ah, bagaimana aku ini! Aku ini seorang laki-laki. Cengeng sekali. Tapi, sudahlah. Air mataku sudah terlanjur menyibakkan diri dari bawah mataku.
“Bagaimana kabarmu, No? Kamu tampak gagah dan berwiba,” ujarku memecah suasana.
“Seperti yang kau lihat. Aku sehat,” jawabnya.
“Kamu sudah tampak berbeda, Nak. Ibu sampai ragu melihatmu tadi. Sudah bergaya kota. Ibu senang melihatnya,” ibunya juga turut berbicara.
“Ya, Bu. Gaya seperti ini sudah biasa di ibu kota,” jawabnya lagi. Terdengar sangat datar. Sepertinya kerinduannya tidak sebesar kerinduanku dan ibunya. Rindunya seperti sudah menguap bersama pelukan pertemuan sebentar ini. Aku mengernyitkan dahi, namun mencoba berbaik sangka saja padanya.
* * *
            Sudah lima hari Dino pulang. Namun, kerinduanku padanya sebagai kawan lama masih belum terobati. Mungkin jika boleh kubertanya pada ibunya, pikirannya juga akan sama denganku. Dia ada, namun hanya badannya. Pikirannya entah kemana. Setiap bertemu dengannya, aku jarang berbicara. Dia terlalu sibuk dengan handphone yang setiap saat berdering, kemudian sibuk memencet-mencet tombolnya melalui layar. Aku bagaikan bayangan yang tak tampak olehnya.
            Setiap subuh, aku selalu ke rumahnya untuk mengajak pergi shalat subuh berjamaah ke surau. Hal itu biasa kami lakukan sebelum kepergiannya untuk merantau. Kami begitu senang melakukannya. Rasanya, Allah memberikan kesejukan yang tak berbatas saat kami menghirup udara di subuh hari saat berjalan menuju suaru.
            “Kita harus selalu seperti ini, Ris. Bangun subuh, shalat ke surau dan menikmati indahnya pagi. Semoga kita bisa jadi anak yang shaleh seperti yang diinginkan orang tua kita,” ucapnya padaku suatu ketika saat kami berjalan menuju surau.
            “Iya. Kita harus bertekad dan berjanji, No. Kita ini adalah anak nagari, aset bangsa yang harus taat beragama,” aku sependapat dengannya.
            Tetapi, kini dia tidak sependapat denganku. Setiap kumengetuk pintu rumahnya, selalu ibunya yang membukakan pintu. Selalu juga, aku tak berhasil bertemu dengannya karena dia masih tidur. Ibunya berbicara, dia sangat sulit untuk dibangunkan. Malah menjawab dengan bentakan pada ibunya. Kucoba juga untuk membangunkannya, hasilnya tetap nihil. Aku juga dibentak seperti ibunya.
            “Kalau mau pergi, pergi saja sendiri! Aku mengantuk! Ang tidak lihat kalau ambo sedang tidur?”
            Setiap hari, setiap subuh, selalu seperti itu. Kumengunjungi rumahnya dan mendapat bentakan saat membangunkannya. Setiap subuh pula, aku pergi ke surau bersama ibunya untuk membimbingnya berjalan. Beliau ingin ikut shalat di surau, namun kakinya tidak terlalu kuat untuk berjalan jauh. Akhirnya, aku yang membantu membimbing beliau hingga sampai di surau.
            Dino yang kini, telah berubah dari Dino yang dulu kukenal. Kehidupannya sehari-hari hanya bertemankan telepon genggam sembari bersantai-santai ria. Ibunya sibuk melakukan berbagai cara untuk melampiaskan kerinduannya yang telah lama terpendam. Namun sayang, Dino hanya menanggapi dengan dingin. Bagiku, biarlah dia tidak menganggapku, namun jangan sampai ibunya yang dibiarkan lontang-lantung sendiri tanpa respon darinya.
            Subuhnya selalu terlewatkan. Bagiku, biarlah aku dibentak dan dibiarkan ke suaru sendiri. Namun, jangan sampai dia membentak ibunya juga dan membiarkan beliau tertatih-tatih sendiri menuju surau. Bukan hanya subuh yang terlewat, namun aku juga mendapat cerita dari ibunya shalat lima waktu telah ‘lupa’ dikerjakannya.
            Pernah kuperingatinya sekali, namun akhirnya pertengakaran yang terjadi. Kami berdebat dan hampir batinju jika ibunya tak melerai. Setelah itu, aku tak pernah lagi mengunjungi rumahnya. Entah untuk menanyakan bagaimana keadaan tanah jawa dan kehidupannya atau untuk mengajaknya ke surau saat subuh tiba. Pupus sudah impianku untuk memintanya berbagi cerita. Dia sudah keras, hingga hatinya juga turut mengeras.
            Hingga suatu subuh, aku melihat sebuah kejanggalan. Seperti biasa, aku berjalan sendiri ke surau dengan melewati jalan ke rumah Dino. Rumahnya berdekatan dengan surau, sehingga untuk pergi menuju surau, aku selalu lewat di depan rumahnya. Saat itulah hal yang janggal itu terjadi. Kulihat dua orang laki-laki baru saja melangkah keluar dari rumah Dino. Aku penasaran dengan mereka. Hingga kuamati secara seksama siapa mereka. Aku tersentak dan kaget. Mengapa beliau berdua ada di sini?
            Beliau berdua adalah ayah dan mamak Dino yang sudah meninggal. Beliau berdua terkenal alim dan tetua di kampung kami. Namun kini, aku melihat beliau berdua secara nyata. Tubuhku menggigil. Kucoba membuat pertahanan agar tubuhku tidak pingsan karena ketakutan. Kulafazkan dzikir-dzikir yang kuketahui, karena kutahu kekuatan Allah lebih kuat dari apapun. Tiba-tiba kulihat juga Dino melangkah keluar rumah menggunakan baju koko, sarung dan peci. Dia melambaikan tangan ke arahku.
            “Ris, ayo ke surau!” soraknya. Aku ternganga tak percaya. Kukucek-kucek mataku untuk memastikan.
            “Dino?” tanyaku ragu.
            “Ya, ini aku. Aku baru saja bermimpi bertemu dengan ayah dan mamakku. Beliau berdua memarahi dan menasihatiku. Aku takut melihat mereka yang begitu murka. Hal itu membuatku tersadar dan bangun dari tidurku. Kini, aku baru saja tersentak dari kesalahan yang kuperbuat,” jelasnya tanpa kuminta.
            “Apa? Ayah dan mamakmu?” aku terkaget. Jadi yang kulihat tadi...
* * * SELESAI * * *


Jangan Sampai 'Mendamprat' Muka Sendiri

Hmm,, besok siswa-siswi SMA udah pada mau UN ya? Besok-besoknya lagi, siswa-siswi  SMP yang mau UN. Selanjutnya, besok-besoknya lagi siswa-siswi SD yang mau UN.
Mari kita lupakan sejenak masalah penulisan formal dan berkaidah EYD. Jadi, sedikit santai dan menggunakan bahasa nggak resmi aja, ya.

Judulnya mengenai "Mendamprat' Muka Sendiri, tapi kok malah bicara mengenai masalah UN?
Sebenanrnya, ini diposting agak sedikit terlambat, ya. Tapi tak apalah, semoga bisa menjadi sedikit 'pencerahan' buat besok yang mau ujian.

BTW, sebelum melakasanakan ujian, pada ngapain sih guys? Belajar mati-matian kah? Atau mati-matian 'mencari' jalan biar bisa mendapatkan hasil terbaik, walaupun dengan cara yang 'tidak' benar?

Sebagai saran saja (soalnya saya juga baru habis UN SMA tahun kemarin, jadi masih anget-anget terngiang masa-masa UN), PERBANYAK REFRESHING DAN MENENANGKAN PIKIRAN PAS H-1 UN. Lah? Kenapa disuruh santai-santai?  Nggak berusaha dong berarti?

Saya bukannya menyuruh untuk tidak berusaha, tapi menenangkan pikiran. Toh selama ini, sudah ada Try Out  dan semacamnya yang bisa menjadi media berlatih dan menguji kemampuan. Di situlah seharusnya kita belajar mati-matian dan berusaha keras.

Belum lagi, selama beberapa hari ini, saya melihat banyak berita mengenai kecemasan siswa-siswi yang akan mengikuti UN. Pertanyaan saya, sebenarnya apa yang Anda cemaskan? Begini, saya menonton acara Mario Teguh Golden Ways, edisi tanggal 5 April 2015 minggu lalu. Menurut beliau, kecemasan itu terjadi karena 3 hal :
1.     Takut dapat hasil yang tidak bagus
2.     Karena sadar selama ini persiapan masih kurang
3.     Takut mengecewakan orang tua.

Kenapa harus takut dapat hasil yang tidak bagus? Memangnya hasilnya akan diketahui kapan? Nanti, kan? Jadi takutnya nanti aja. Sekarang mah enjoy your life aja dulu. Kuncinya adalah usaha dan berdoa. Jika merasa persiapan selama ini kurang, maka silahkan saja Anda berharap dan berdoa soal yang bakalan keluar besok  adalah soal yang mampu Anda jawab dengan benar dan jujur (tapi, besok-besok ga boleh diulangi lagi kesalahan yang pernah kamu lakukan ini, ya).

Jadi, apa sih inti yang mau saya sampaikan pada postingan kali ini. Di hari-hari H-1 dan menjelang UN ini, perbanyaklah doa dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Apalagi kalau udah H-1, belajarnya jangan terlalu diforsir. Kalau saya sendiri sih, kalau belajar udah pas mau dekat-dekat banget ujian, byaaaar semuanya bakalan lupa -_-

Satu lagi, JANGAN PERNAH BERNIAT UNTUK BERBUAT CURANG. INGET!!! GUE PALING MALES APABILA BELUM APA-APA, ANAK INDONESIA UDAH NYERAH DULUAN. NYARI KUNCI SANA-SINI. MINTA JAWABAN SANA-SINI. Itu sama saja kita nggak percaya diri. Percuma juga selama ini belajar, jika hanya berakhir dengan ketidakjujuran. Percuam juga selama ini bilang kalau BENCI KORUPTOR, ANTI KORUPSI, kalau akhirnya malah melakukan korupsi pas ujian. Itu mah namanya ‘MENDAMPRAT’ MUKA SENDIRI.

Percaya deh, nggak bakalan ada kepuasan dan kebahagiaan kalau sesuatu yang kita dapatkan dari hasil nggak baik. Apalgi, ntar hasil ujian ini bakalan kita bawa buat ikut pendidikan yang lebih tinggi. Apakah kita bakalan tenang, jika hidup dilanjutkan dengan bayang-bayang ‘kejahatan’ yang kita lakukan? Nggak usah jawab ataupun marah. Cukup tanya hati kecil kamu aja. Karena hati kecil itu, selalu jujur dan apa adanya.

Sip deh. Udah sepanjang ini tulisan saya. Moga-moga aja bisa bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran. Jangan panik, jangan cemas, perbanyak doa dan ibadah, tenagkan diri dan hati.

Insya Allah, saya juga akan posting nanti mengenai cara menghadapi pengumuman kelulusan, pengumuman hasil SNMPTN dan cara-cara sederhana untuk menghadapi SBMPTN. Sekaligus bagaimana caranya apabila jurusan saat kuliah yang didapatkan nanti, berbeda dengan yang diharapkan. Doain aja mudah-mudahan nanti saya bisa posting dan bisa menjadi referensi buat sahabat-sahabat sekalian, terutama yang mau lulus SMA.

SELAMAT MENEMPUH UJIAN PEMUDA HARAPAN BANGSA.
INGATLAH! BANGSA INI MENUNGGUMU DAN KEBENARAN YANG KAMU LAKUKAN UNTUK MASA DEPAN.

Semoga sahabat-sahabat sekalian mendapatkan hasil yang terbaik :D
Aamiin.. :D


Jumat, 30 Januari 2015

Yuk, Cari Mutiara dalam Lumpur!

Assalamu'alaikum pembaca di mana pun berada..

Oke, setelah sekian lama vakum dari dunia "per-blogger-an" akhirnya, saya terinspirasi lagi untuk menulis di blog yang cukup lengang ini. Beberapa fenomena yang menarik untuk dikupas dan dibahas, semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. Aamiin.


Sebelumnya, mari kita menyelam pada dunia fabel sejenak. Kita mulai dari kisah para"tikus" yang berkeliaran di mana-mana. Ok, kalau cuma berkeliaran, boleh lah. Lagi pula, mereka kan imut-imut dan lucu-lucu *Saya tidak bilang ini fakta, ya. Anggap saja kalau tikus-tikus itu lucu. Bagi Anda yang geli melihat tikus, tolong jangan dibayangkan. Karena saya tidak bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi. Tapi, yang menjengkelkan dan membuat sebal luar biasa, tikus-tikus itu malah mencuri semua yang bukan haknya. Akibatnya, hilang dan pupuslah semua keimutan dan kelucuan tikus yang sempat terpikir. Dan akhirnya, tikus hidup di dunia antara bahagia dan merana selamanya. *Pletak! Ini cerita apaan???

Dari cerita tikus, kita beralih pada cerita cicak dan buaya. Mereka berperang, dan masing-masing saling mengganggap bahwa dirinyalah yang benar dan akan menang. *Maing-masing dari pembaca tentu bisa menilai siapa yang benar dan akan menang. Semua pilihan ada di tanganmu. Saya juga nggak bakalan maksa, kok. Pilih cicak boleh,pilih buaya boleh. Tergantung pada pola pikir masing-masing. Namun, yang benar di mata Tuhan, tentulah itu yang sebenarnya benar. Padahal kita sama-sama tahu, bukan? Buaya dan cicak punya empat kaki. Cara berjalan yang hampir sama. Buaya pun, jika memakan cicak, tentu tidak akan kenyang. Lalu, untuk apa mereka berperang? Coba deh bayangkan kalau cicak sama buaya temenan, jalan beriringan *kalau bisa gandengan, biar lebih akrab gitu, kan cakep tuh. *sambil acung jempol. Dan endingnya, mereka bisa hidup bahagia selamanya.


Udah deh, segitu dulu cerita fabelnya. Maafin ya kalau garing, ngga bagus, nggak nyambung, bikin bingung, bikin bosan, bikin malas buat lanjutin baca, bikin keki, bikin emosi, sampai-samapi berencana mau nonjok penulisnya. :P

Kata-kata muqodimahnya udah selesai, sekarang kita masuk ke saripati alias inti dari tulisan ini. Let's read!!!

Tahu gak sebab dari semua hal yang diceritakan secara garing sebelumnya terjadi? PENYAKIT HATI. Nah, itu tu sebabnya. Si tikus mencuri, karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki. Udah imut, udah lucu, ngegemesin, apalagi yang kurang, coba? *bagian ini, bacanya dengan nada yang sedikit ditinggikan, biar bacanya lebih berasa aja gitu. Hmm,, kira-kira apa ya? Kalau menurut saya sendiri sih, yang kurang itu adalah rasa BERSYUKUR. Ya, nggak? Atau pembaca punya tambahan pendapat yang lain? Silahkan :)

Kedua, masalah cicak dan buaya. Siapa yang salah sebenarnya? Lagi-lagi, jawabannya adalah adanya PENYAKIT HATI. Adanya sesuatu yang menyesakkan di antara cicak dan buaya, membuat rasa tersebut meluap hingga membuat ledakan yang menggemparkan dunia *Ya elah, bahasanya -_- Miris banget buat dibaca. Rasa iri, dendam, merasa  benar tanpa butuh koreksi. dan lain-lain, membuat satu sama lain merasa tidak enak hati hingga akhirnya terjadi perang. Namun, pertanyaan yang menggantung di kepala saya adalah, tidak menyesalkah jika sudah terlanjur berantem? Beneran nih? Serius? Udah, nggak usah boong. Jujur aja deh. *maksa banget dah :3 Perdamaian dan saling mengakui kesalahan, itulah yang seharusnya dilakukan.

Dan kedua cerita ini ditampilkan dan digembor-gemborkan di semua 'kotak layar' yang bisa dilihat oleh jutaan pasang mata. Akibatnya, timbullah berbagai macam argumen, baik yang baik atau buruk. Sebenarnya, fine-fine saja jika berpendapat. Namun, ada hal yang selama ini terlupa dari berjuta pasang mata tersebut. Hikmah dan pelajaran, itulah dia. Ambil hikmahnya, buang segala carut-marut yang melikar padanya. Tiada gunanya jika hanya mampu berkomentar tanpa ada aksi yang bisa membuat sebuah perubahan. Gali dan temukanlah mutiara yang terdapat dalam kubangan lumpur. Semoga saja, mutiara tersebut bisa membawa pada perubahan. Perubahan yang memberikan pencerahan. Baik untuk pelakon para pelakon fabel diatas dan juga untuk berjuta pasang mata yang menjadi saksi kisah mereka. :)

Semoga bermanfaat :D
Wassalam