Senin, 10 Desember 2018

Afzhi’s Story - Ketika Aku Tak Menyukai Kegagalan (Bagian 1)



Yuhu~~~ Akhirnya blog yang sudah berdebu dan tampilannya sudah sangat ketinggalan zaman ini kembali beroperasi. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, akhirnya kemageran yang selama ini datang bertubi-tubi sekaligus beberapa kesibukan – yang pada dasarnya hanya sok-sokkan menyibukkan diri – bisa di-pause sejenak kali ini.

Nah tulisan ini agak berbeda dari postingan sebelumnya, bukan berisikan cerita-cerita semacam cerpen, cerbung, referensi buku, atau variety show terbaru. Aku belum menemukan ide cerita baru pemirsa, maafkan.... Sebenarnya tulisan ini lebih ke arah dokumentasi tersendiri buatku agar ke depannya aku ingat kalau aku pernah sadar dan sempat mendapatkan titik cerah dari rundung duka yang beberapa waktu lalu sempat melanda. Ah, bahasa dirundung duka terlalu lebay sepertinya, mari kuganti katanya dengan ‘kegalauan’ (Elah sok-sokkan galau, kayak anak remaja yang baru puber aja lu Tong).

Kenapa galau? Udah seberumur segini masih galau? Masa nggak bisa nyari ketenangan sendiri? Benar-benar sudah bukan zamannya lagi Ferguso~~~

Bukan begitu pemirsa, tahan dulu pertanyaannya. Mari kumulai dulu bercerita dari latar belakang, agar tulisan ini terlihat lebih sedikit alamiah, akademik, dan mendidik.

Saat umurku memasuki akhir 20, di situlah semuanya bermula. Apalagi kalau bukan urusan sekeripsi alias skripsweet, bahasa baik-baiknya SKRIPSI. Aih, sungguh gila sekali keadaan waktu itu. Bayangkan saat dirimu ngebet banget pengen wisuda, cepat-cepat tamat, dan wushhh urusan skripsi, olah data, ambil kesimpulan, jurnal-jurnalan malah semakin pelik. Belum lagi mau menemui dospem, minta tanda tangan, revisi, dan semacamnya. Ada juga keadaan Papa yang sedang sakit dan mesti bolak-balik buat berobat. Air mata tumpah ruah kala itu, Sist, Bro. Drama sekali pokoknya, melebihi drama M-net di kalangan anak-anak produce dan para pengharap award. Ingin menghujat tapi takut dosa. Tapi... Alhamdulillah wa syukurillah pas hampir di titik mau menyerah Allah kasih jalan. Yeay~~~ wisuda kita dong ya. Oke, saat itu aku tutup dengan bahagia.

Masuk umur 21 pas, di sini mulailah perjalanan hidup yang kalau kata orang-orang, ‘Jadi orang dewasa itu nggak mudah’ – maka dari itu sebenarnya sejak dulu aku nggak pernah punya cita-cita menjadi dewasa. Mau nggak mau, kalau umur panjang, maka fase mulai menjadi orang dewasa itu harus dilalui dong (meskipun sampai saat ini aku anti dibilang dewasa. *tidak sadar umur sama sekali*). Habis wisuda, ternyata nggak habis di situ doang Sist, Bro. Lebih rumit dari skripsi dan sedikit lebih pahit dari rasa daun pepaya. Pasca wisuda mau ngapain Neng? Kerja? Kuliah? Oke, sebenarnya aku udah punya target tersendiri. Cuma yang namanya hidup di dunia yang fana ini, tak semua berjalan sesuai keinginan. Maunya A, tapi nggak tercapai, lanjut mau B, belum tercapai juga, ambil pilihan C, belum rezeki. Ditambah lagi pertanyaan dari penduduk (aih penduduk, sudah macam hendak sensus tahunan saja) sekitar, “Sekarang sibuk apa? Kerja dimana? Udah jadi daftar kuliah?” Jujur gengs, saat itu menurutku pertanyaan tersebut adalah hal terberisik yang bikin telinga pengang.

Lanjut ke pertengahan umur 21, makin drama lagi. Mulai stres, banyak pikiran, dan menyalahkan diri sendiri. Beberapa rencana dari yang urutan pertama sampai beberapa list rencana ke bawah sudah dikasih garis merah, alias gagal. Puyeng dong gagal berkali-kali, coba ini coba itu belum juga berhasil. Ini fase paling parah, tepatnya itu baru beberapa waktu lalu. Udah usaha segala cara, belajar, sampai-sampai ambil les Toefl, tapi sepertinya tidak ada kemajuan yang signifikan. Jangan tanya perihal doa atau ibadah, oke. Masing-masing kita punya porsi tersendiri yang tak bisa dipublikasikan. Intinya doa harus gandengan sama usaha, usaha harus diiringi doa. Meskipun begitu, ujung-ujungnya aku sering menyalahkan takdir, tidak menerima dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu, sampai membandingkan nikmat yang Allah kasih ke orang lain dengan nikmat yang Allah kasih untukku.

Sip, latar belakangnya sampai di situ dulu. Kesimpulannya, ketika menjadi mahasiswa akhir hingga saat ini, banyak kesulitan yang dilalui, hanya sedikit keberuntungan yang aku rasa aku dapatkan. Lanjut, ke rumusan masalah. ‘Jadi kamu tu mau cerita apaan Ai? Ini mau ngeluh sampai akhir dan minta belas kasihan apa gimana?’ (Hahaha, aku tak semenyedihkan itu Maemunah, silakan scroll lagi ke bawah)

Ketika aku melalui fase-fase di atas, sebenarnya ada dua hal yang aku butuhkan. Dukungan dan motivasi. Kalau motivasi dari keluarga, orangtua, saudara sudah mantap. Aku bersyukur sekali sama keluargaku yang nggak muluk minta babibu dan lalala sebagainya. Bahkan ketika aku gagal berkali-kali, aku sama sekali tidak pernah disalahkan atau diminta untuk berhenti. “Tenang, masih ada tahun besok,” begitu kira-kira. Yang menjadi permasalahan utama itu adalah AKU SENDIRI. Aku, lupa untuk mendukung diriku, tak ingat untuk memotivasi diriku, karena sudah terlanjur menyalahkan diri sendiri dan takdir yang Allah kasih. Blasssh, kalau dari diri sendiri saja sudah babak belur begini, maka tidak akan mungkin pikiran-pikiran positif itu bisa datang secara instan, kan?

Mau cerita kepada orang lain, rasanya juga tak nyaman. Aku sadar, sepertinya orang-orang seumuranku memiliki kesulitan masing-masing yang mereka emban. Tidak tega juga rasanya mau berkeluh-kesah kepada orang yang sebenarnya juga butuh dukungan (Oke, mungkin di sini kalian bisa mulai menangkap kalau aku suka pesimis sebelum mencoba, ini juga salah satu yang jadi masalah kepribadianku). Sampai akhirnya aku bisa bercerita ke salah satu teman dan waw... tak seperti yang dikira. Dia bisa kasih solusi yang jelas, mulus, dan tepat sasaran, walaupun dia juga tidak sepenuhnya dalam keadaan baik-baik saja. So, kali ini biarkan aku memberikan nasihat yang selama ini jarang kulakukan. ‘JANGAN PERNAH BIARKAN DIRIMU SENDIRI MEMIKIRKAN MASALAHMU. ADA ORANG LAIN YANG BISA KAMU AJAK BICARA. TEMUKAN SETIDAKNYA SATU ORANG DIANTARA MILYARAN UMAT MANUSIA YANG ADA SAAT INI YANG BISA MENDENGARKAN CERITAMU. JANGAN CARI SOLUSIMU SENDIRI JIKA KAMU TAK SANGGUP MELAKUKANNYA.’

Kenapa aku bisa bilang pakai CAPSLOCK huruf gede sok-sok tegas seperti itu? Begini, beberapa waktu lalu aku sempat menemani Papaku ke rumah sakit untuk membesuk seseorang, pokoknya seseorang. Jeball, di sini aku mau mengingatkan, bukan menyebarkan aib. Semoga saja jika cerita ini berkenan buat kalian semua, tokoh cerita ini bisa mendapatkan pahala dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin. Beliau ini terkena gangguan jiwa dan stres akut. KENAPA? Nah ini yang mau aku jelaskan. KARENA dia belum bisa mencapai keinginan dan cita-citanya, sedangkan di sisi lain dia melihat orang lain yang menurutnya tak lebih baik darinya, malah mendapatkan hal yang dia cita-citakan tersebut. Well, sebagai manusia, jujur, kalian pernah merasakan seperti ini kan? Aku sendiri, jujur, pernah. Bagaimana perasaan kita saat gagal ditambah melihat kesuksesan orang lain tepat di depan mata kita. Sedih? Iri? Benci? Anggap saja jawabannya YA. Pemikiran seperti itu terus tumbuh dan subur dalam pikiran kita sebagai seseorang yang gagal. Di situ mulai sang iblis durjana ikutan nimbrung, kasih masukan-masukan, bisikan-bisikan, dan nasihat-nasihat  yang na’udzubillah kalau sampai diikuti. Hati-hati sama penyakit hati. Setelah itu mulai muncul stres, frustasi dan jika tidak bisa ditahan lagi, maka akan masuk ke fase yang lebih parah. Paham kan maksudnya bagaimana?
           
Lanjut, paragraf baru (Semriwing juga ini mata kalau baca satu paragraf terlalu panjang seperti catatan hutang). Di situ aku mulai berpikir, ‘Apa sih yang kita cari dari sebuah keinginan, ambisi dan cita-cita? Kesuksesan, pujian, harta kekayaan, pangkat, gengsi, jabatan, kepuasan, membahagikan orang tua?’ Baiklah jika memang itu tujuannya. Tapi... coba dipikir lagi. Jika kita sudah sampai pada titik (maaf) terlena dengan keinginan duniawi tersebut, sehingga pikiran kita tidak terkontrol lagi, hingga jatuh sakit, apa semua tujuan tadi bisa tercapai? Probably, big NO. Sukses tidak didapatkan, gengsi mulai hilang, dan orangtua serta orang sekitar kita yang akan repot karena kita.

INTINYA, setiap hidup memiliki perjalanan. Tak ada yang semulus jalan tol. Jangan pernah libatkan iblis dalam rencana dan pikiranmu. Jika tak sanggup, cari seseorang yang bisa mendengarkan dan memberi solusi. Setidaknya, jika kamu hanya mendapatkan teman yang bisa mendengarkan namun belum bisa memberi solusi, sebenarnya itu sudah lebih dari cukup. Pada dasarnya, seseorang yang sedang dilanda permasalahan itu, butuh telinga yang bisa mendengarkannya. Untuk seorang pendengar, jika kamu tak bisa memberi solusi, silakan dengarkan saja sepenuh hati, namun jangan pernah berkomentar ‘mengompori’ yang dapat menambah stres lawan bicaramu.

Sebenarnya, ada hal lain yang ingin aku bahas dan menjadi inti dari tulisan ini. Bagian di atas, baru perkenalan, latar belakang, dan rumusan masalah. Bagaimana caraku mengatasi hal-hal yang aku utarakan di atas, bagaimana reaksiku ketika sudah mulai menerima kegagalan kemudian datang lagi kegagalan lain secara bertubi-tubi, hingga ada satu cara baru yang aku temukan untuk bisa menyadarkanku bahwa Allah itu dekat.

Hingga tulisan ini kutuliskan pada paragraf ini, aku masih belum berhasil, Kawan. Dulu, aku berniat untuk membagikan tulisanku di saat aku sudah layak dikatakan berhasil. Tapi ternyata, terlalu lama. Pada akhirnya aku menyadari, jika berbagi di saat berhasil saja, mungkin tidak akan terlalu merangkul pembaca karena aku tidak merasakan apa yang pembaca rasakan. Namun sekarang, jika keadaan dan emosi kalian hampir mirip dengan kondisi cerita di atas, percayalah aku juga sedang melalui apa yang kalian rasakan.

See U di cerita selanjutnya bagian 2!
Kapan? Doakan aku supaya tidak malas dan mager ya Yeorubun-deul J

Selasa, 22 Mei 2018

Review Reality Show : My Neighbor, Charles (KBS TV)


Selamat datang kembali di blog yang rada acakadut dan jarang update ini ^_^

Pada postingan kali ini, aku mau ngebahas mengenai salah satu reality show Korea yang judulnya "My Neighbor, Charles". Acara ini tu bukan yang menampilkan artis-artis, idol papan atas ataupun para entertainer yang biasa kamu lihat di acara-acara Korea. My Neighbor, Charles ini lebih fokus membahas mengenai kehidupan foreigner yang tinggal di Korea. 

Aku baru nonton beberapa episode, dimana orang asing yang jadi guest-nya itu adalah orang muslim. Mereka ada yang berasal dari Iran, Uzbekistan, dan juga Afghanistan. Kenapa mereka bisa datang ke Korea? Gimana kehidupan mereka di Korea? Apakah semua hal tentang kehidupan Korea pada kenyataannya sama dengan yang biasa kita lihat di layar kaca?

Sebelumnya, aku memang belum pernah ke Korea dan malah masih kurang banget pengetahuan mengenai negara-negara di dunia (Indonesia aja masih belum sempurna kenalnya, apalagi negara lain wey T_T). 

Salah satu alasan kepindahan mereka yang ingin aku bahas adalah ADANYA PEPERANGAN. Jadi 2 keluarga yang aku tonton itu, yang satu berasal dari Iran dan satu lagi dari Afghanistan, pindah ke Korea karena di negaranya terjadi perang. Istilahnya mereka mengungsi dan mencari keadaan hidup yang lebih tenang dari ancaman. 

Nah, apa setelah kepindahan mereka kehidupan jadi lebih baik? Menurutku, tidak semuanya. Karena pada awalnya, mereka adalah keluarga yang termasuk mampu, berkecukupan, atau malah kaya ya (?). Pokoknya begitu kira-kira. Tapi, ketika hijrah ke negara orang, mereka agak kesulitan dalam perekonomian dan keuangan, disebabkan perbedaan bahasa dan budaya. Karena di situ, kalau mau cari kerja harus bisa bahasa Korea. Trus kalau mau kayak bikin usaha sendiri, bahan baku di sana lumayan mahal.

Oke, singkatnya seperti itu. Intinya di sini yang ingin aku bahas sebenarnya adalah buat kita yang tinggal di Indonesia (apalagi aku ya, berasa mau ngomong ke diri sendiri, "Sadar sist negaramu juga indah, kamu aja yang mainnya kurang jauh. Negaramu nggak seburuk dan sengaco ang kamu kira.")

Pertama, kita lihat beberapa contoh negara Islam yang di sana terjadi perang, membuat beberapa penduduknya berpikir untuk pindah ke negara yang lebih aman. Kita juga tau, tempat baru, tentu akan memiliki perbedaan dari banyak sisi. Apalagi budaya dan agama. Saudara-saudara muslim kita, yang ditakdirkan Allah mereka hijrah ke Korea ini, juga nggak mudah tentunya untuk menerapkan kehidupan islam di sana. Ya seperti mau nyari makanan halal, style mereka yang berbeda dengan penduduk lokal (tau kan style Arab seperti apa?), trus menjalankan ibadah (apalagi buat anak-anak, mungkin mereka bisa aja berpikir, "Kok gua aja yang puasa, mereka nggak? Kenapa cuma gua yang salat 5x sehari, mereka malah seneng-seneng aja?"). Tapi Masya Allah-nya nih ya, ternyata mereka nggak menghilangkan nilai-nilai islam itu sama sekali. 

Perlu bukti? Di keluarga Iran, anak gadis yang perempuan dilarang keluar pergi main kalau nggak sama ayah atau saudaranya. Di keluarga Afghanistan, ketika syuting acaranya yang berupa kehidupan sehari-hari, si anak perempuan minta ga usah direkam pas dia membuka hijabnya (kayaknya kameramen dan staffnya pun cewek, soalnya cuma terdengar suara cewek). Salat, mereka rajin. Puasa apalagi, mesti tahan walaupun beraktivitas di tengah-tengah orang yang umumnya nggak menjalankan puasa.

Dari sini, kita yang di Indonesia gimana? Alhamdulillah, negaranya aman dan damai. Nggak ada gangguan yang membahayakan buat ibadah. Nggak perlu pindah ke tempat lain untuk menghindari ancaman perang. Nggak perlu mempelajari bahasa asing begitu ketat supaya bisa bergaul dan bersekolah. Jadi, nikmat mana lagi yang kita dustakan? Nggak mesti hidup susah berlumur tangis dan darah baru bergerak buat rajin ibadah, belajar, dan bekerja kan? Ingat, keadaan Indonesia belum separah negara lain yang saat ini hidupnya kurang tenang. Indonesia nggak se-"cacimakiable" yang kita pikir selama ini.

Kedua, hidup di tempat yang kita pikir enak, belum tentu enak sebelum kita benar-benar hidup dan menetap di sana. Contohnya aku sendiri yang mengira, hidup di Korea lebih enak dari Indonesia. Lebih menyenangkan di sana dari pada di sini. Analoginya, rumput tetangga lebih hijau 😂. 

Allah tau mana yang baik buat kita, dimana yang kita pikir itu buruk belum tentu buruk, yang kita pikir baik belum tentu baik.

Aku nggak mempermasalahkan keinginan buat berkunjung ke negara lain atau mau tinggal di negara manapun, asal untuk saat ini jangan menyimpulkan bahwa 'negara saya adalah negara yang paling terbelakang daripada negara lain, hidup negara saya lebih merana dari kehidupan negara lain.' Nggak semua kita yang udah mengunjungi Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke. Ada beribu bahkan mungkin ratusan ribu, rahasia keindahan negara ini yang belum kita tau. Dan lagi, tak semua orang mampu menerima kita secara tulus melebihi penerimaan yang kita terima di 'rumah kita sendiri'.

Pada akhirnya, aku ingin menyimpulkan, bahwa jangan pernah merasa menyesal lahir di negara Indonesia, jangan pernah berpikir "Kenapa saya tidak lahir di negara A, B, C atau D saja?" Qadarullah yang menitipkan buat kita brojol di Indonesia ini adalah yang terbaik. Serta kemanapun kita berada, ke negara mana pun kita pergi jangan lupa untuk membawa nilai-nilai dan moral yang sudah diajarkan oleh agama dan budaya daerah di negara kita yang umumnya mengajarkan bagaimana bersikap, berucap, dan bertatakrama

Terima kasih sudah membaca sampai kalimat terakhir ini. Mohon maaf jika ada kesalahan. :)
Happy fasting guys :D - Afzhi

Minggu, 22 April 2018

Orang Gila yang Terluka


    Konon katanya, mereka yang gila bukan karena kehendaknya. Sering yang menjadi tumbal alasannya adalah keadaan, padahal lebih dominan unsur kesengajaan. Misalnya seperti nasib Bambu, seorang korban kata-kata dan caci maki yang berujung pada hilangnya kewarasan dirinya. Garis hidupnya dicap buruk, belum lagi bisik-bisik warga yang tak lelah membuatnya makin terpuruk. Dulu, ia seorang yang cerdas. Bahkan, hitungan sulit matematika cukup ia kerjakan dengan kerjap mata. Namun, esok-esoknya keadaan berbalik, beberapa manusia yang iri sibuk mengurusi kelebihannya. Bambu dibuat mati akalnya. Makin hari keadaannya makin parah. Hitungan kembalian sisa belanja di warung Bu Kayu saja ditebak sesukanya.

    "Saya belanja lima belas ribu, tapi sayang saya cuma bawa dua puluh ribu. Uang saya kurang lima ribu kan Bu? Nanti saya antar lagi ke sini, saya ambil uang di rumah dulu."

    Awalnya Bu Kayu pusing, ribut menjelaskan soal uangnya yang seharusnya kembali lima ribu, bukan kurang lima ribu. Tapi Bambu masih kekeh. Dia yakin hitungannya benar. Bu Kayu pasrah, terserah dia saja mau hitung berapa. Namun, lama-lama kepasrahannya berubah menjadi keserakahan. Kabar itu tersiar ke seluruh desa. Dimana pun Bambu belanja, semua manusia akan membodohinya. Lama-lama uangnya habis. Bambu menyerah, tak lagi punya apa-apa. Otaknya makin bergeser. Hingga sampai pada puncaknya, ia gila dan membawa golok ke mana-mana. Dalam kegilaannya dia sadar, bahwa manusia telah menipunya. Setelah itu dia tak percaya lagi pada manusia dan membawa golok demi melindungi diri dari kekejaman mereka.

    Kabar kegilaan Bambu beredar cepat, secepat olok-olokan warga yang setiap hari menghantuinya. Apabila Bambu mengejar mereka karena marah, mereka akan bersumpah serapah, "Dasar gila! Pikirannya sudah tak ada! Pergi sana!" Malang memang kehidupan Bambu. Sudah dibuat gila, lalu disakiti lagi ketika telah gila. Hanya saja, mungkin mereka para manusia jahat itu lupa. Jika Bambu berdoa pada Tuhan, doanya yang lebih makbul di mata Yang Maha Kuasa. Dia tersiksa dan Tuhan lebih memerhatikannya. Tinggal mereka tunggu saja, jika Tuhan yang turun tangan. - RAW, 22/4/18

Minggu, 20 Agustus 2017

Surat Kaleng tanpa Judul (Padamu, Anak dari Setiap Ayah dan Ibu)


Ini seperti surat kaleng. Bukan kulemparkan ke lautan, melainkan melewati jaringan yang penuh kecanggihan. Semoga tersampaikan pada siapapun, entah kukenal maupun tidak, terutama pada diri ini sendiri yang sampai saat ini tak kuketahui rupanya yang nyata dan keinginan hatinya seperti apa. 
Semoga kita selalu diberikan petunjuk yang lurus oleh Yang Maha Kuasa. Aamiin Ya Rabb.

Kemeriahan perayaan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-72 tahun masih terasa walaupun sudah beberapa hari berlalu. Selamat wahai negaraku, sudah lebih dari setengah abad dirimu tak lagi bertekuk lutut pada kezaliman. Sayangnya, selamat yang kuucapkan tak secara nyata dapat menyatakan bahwa dirimu tengah berada dalam kondisi yang selamat. Kali ini, bukan berbicara mengenai keselamatan makro seperti keadaan negara, politik, perekonomian, ataupun keadaan Internasional. Berbicara mengenai hal tersebut tak akan ada habisnya, semakin dibahas maka semakin banyak masalah yang harus diselesaikan.

Mari sejenak kita berbicara dalam unit mikro – agen yang harus diselamatkan paling pertama – yang merupakan salah satu pemain pengisi kemerdekaan. Siapa? Tentang DIRI SAYA. “Saya” siapakah yang dimaksud? Coba engkau sebutkan kata “SAYA”, maka itulah dia tujuannya. Jika aku yang menulis tulisan ini menyebutkannya, maka itulah objek “Saya” bagi diriku, begitupun denganmu.

Perkenalkan, saya adalah seorang anak dari kedua orangtua yang kasih sayangnya tak akan pernah mati sampai kapanpun. Ayah dan ibu, begitulah panggilannya secara umum. Jika ditanya apakah saya menyayanginya, saya akan menjawab dengan lantang bahwa saya sangatlah sayang pada keduanya. Jika ditanya rindukah saya kepada ayah dan ibu, jangan ragukan lagi, jawaban saya adalah merindukannya setiap waktu apalagi di saat berpisah. 

Namun, sebenar-benar sayangkah saya? Apakah rindu saya untuk keduanya benar-benar ada? Jawaban di atas adalah jawaban yang dilontarkan oleh mulut saya, bukan oleh sikap dan perilaku. Saya memang menjawabnya diiringi dengan perasaan hati yang sayang dan rindu, namun perbuatan saya tidaklah mencerminkannya. 

Berapa kali sehari saya mendoakan keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat keduanya? Hanya saya dan Allah-lah yang tahu. Ini untuk mengingatkan diri saya, bahwa kasih sayang bukan saja yang diperlihatkan, namun juga yang disimpan dalam kerahasiaan.

Berapa kali perjumpaan yang saya lakukan dengan orangtua dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, atau pun satu tahun? Dalam setiap perjumpaan, berapa kali saya mengabaikan kebersamaan bersama keduanya hanya karena gadget yang saya miliki? Di saat pulang ke rumah, berapa kali saya bertengkar, merasa kesal, mengeluh, ataupun berbicara dengan nada yang tinggi kepada ayah dan ibu? Jika saya ditanya, saya akan menjawab bahwa saya rindu, namun ketika bertemu, saya malah jarang berinteraksi dengan orangtua saya, membalas pesan di handphone pintar lebih menarik daripada bercengkerama dengan ayah dan ibu. Saya menjawab bahwa saya rindu, tapi adapun ketika berbicara, saya sering kesal dengan orangtua yang menyuruh ini dan itu, menyalahkan apa yang saya lakukan, menasihati perangai saya. Saya merasa tak suka diberitahu, karena saya pikir saya sudah besar, saya sudah merantau jauh, pemikiran saya juga sudah tinggi, sehingga saya tak mau lagi dimarahi orangtua. Untuk menghentikan segala bentuk kecerewetan ayah dan ibu, saya tinggal meninggikan suara dengan nada yang menjengkelkan, sehingga ayah dan ibu berhenti dan tak mau lagi berkata apa-apa.

Jadi, di mana letak sayang dan rindu saya pada kedua orangtua?

Saya adalah orang yang berprestasi, baik di lingkungan kelas secara akademis, maupun lingkungan organisasi dan ekstrakulikuler di kampus. Debat dan orasi sudah sering saya lakoni. Saya sudah merasa hebat, saya pikir orangtua saya akan bangga dengan semua ini. Kuliah saya sudah di kampus bergengsi, sudah dipuji oleh tetangga kanan dan kiri, seharusnya orangtua saya sudah senang dengan semua ini. Negara ini harusnya bersyukur memiliki saya sebagai warga negara. Tapi ternyata, 
saya SALAH BESAR. 

Kebanggaan utama orangtua saya tidak mengacu pada prestasi, namun pada sopan santun dan lemah lembut pada keduanya yang menjadi prioritas. Menghormati dan menyayangi keduanya, itulah yang membuat hatinya tenang. Negara ini, tak hanya butuh orang-orang pintar, namun juga orang shaleh / shalehah yang bertakwa kepada Yang Maha Pencipta, berbakti kepada kedua orangtua, dan bukan orang yang sombong lagi jumawa.

Kesadaran yang perlu saya tanamkan, bahwa saya belumlah menjadi orang yang hebat. Belum ada yang bisa saya banggakan. Sebanyak apapaun matakuliah yang saya ambil, selama apapun saya berada di kampus, sejauh apapun negeri yang telah saya tempuh, namun saya masihlah makhluk yang kerdil. Tak pantas bersikap sombong pada orangtua, walaupun keduanya terkadang membuat hati saya kesal. Sebenarnya juga tak pantas saya merasa kesal pada ayah dan ibu, sedangkan yang menjadi penyebab kekesalan itu adalah hal kebaikan yang dimaksudkan oleh ayah dan ibu.

Wahai diri yang kusebut dengan “saya”, semoga isi surat kaleng ini tidak membingungkan. Semoga yang kumaksud bisa tersampaikan pada “saya”. Wahai saya, cepatlah berubah, jangan biarkan orangtua saya tersiksa dengan apa yang saya perbuat. Saya adalah seorang anak dari orangtua yang harus saya bahagiakan dunia dan akhirat, lillahita’ala.

Surat kaleng tanpa kaleng,
Rahmi Afzhi Wefielananda
20/08/2017

*sumber gambar : google

Minggu, 19 Februari 2017

[Law of The Jungle, Gomawo] - Rahmi Afzhi Wefielananda



[Law of  The Jungle Kota Manado, Gomawo]

Rahmi Afzhi W.



Kyaaa, dapat tontonan baru lagi nih, ‘Law of The Jungle’. Walaupun sebenarnya alasan pertama nonton acara ini cuma karena bintang tamunya Sungyeol yang lokasi shootingnya berada di Indonesia, tapi akhirnya... it could be change my mind, guys. Buat saya sendiri yang lebih sering nontonin acara mengenai laut, pantai, dan pedesaan di Indonesia, acara ‘hutan-hutanan’ begini jadi hal baru. Masya Allah, bener banget nih ayat Al-Qur’an yang mengatakan, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”



Nggak salah kalau orang bilang hutan Indonesia itu salah satu paru-paru dunia. Itu masih hutan di Manado, belum lagi hutan di provinsi dan kota lain. Asli indah banget! Beribu pohon yang menghijau, sungai yang airnya deras, gua yang menjadi sarangnya kelelawar, dan fauna yang dapat hidup dengan bebasnya. Itu baru nonton, belum lagi kalau lihat aslinya bagaimana. Kebayang nggak sih gimana jadinya pas hutan itu ditebang tanpa aturan, bahkan sampai dibakar tanpa memikirkan bagaimana dampak ke depannya? Sama seperti kejadian setahun silam. Kalau yang tinggal di Sumatera khususnya sekitar Riau tentu tahu gimana rasanya bernapas bukan hanya dengan menghirup O2 saja, melainkan berbagai zat kimia yang bahkan menilmbulkan bau. Sesak, Bung!



Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Arrahman : 16)

Indonesia itu kaya bukan main. Hutannya aja mempesona gitu, bikin ngiler para ‘serakahwan-serakahwati’ yang dimabuk harta tapi lupa kenyataan (beuh, maafkan penggunaan bahasa yang tak terkontrol kali ini). Cari keuntungan boleh, cari duit boleh, tidak ada yang melarang. Orang Indonesia ini orang yang beragama dan terpelajar. Menjaga perasaan aja bisa, masa menjaga alam nggak bisa? (becanda ding). Seorang pebisnis, seorang pencari keuntungan, sepatutnya sudah pernah mendapatkan ilmu tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Hal-hal dasar mengenai pelestarian alam itu udah pada paham dong.



Hei! Ujian sekolah dan ujian kuliah yang sebenarnya itu ada di saat seperti ini. Bukan hanya ujian pas ulangan semester yang jawabannya pasti bakal dipikirin jawaban yang paling benar, paling cakep, dan yang paling membahagiakan doang. Itu masih teori, Bung! Masih tertoreh di kertas yang tujuannya hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Harusnya isi tulisan itu yang diaplikasikan ketika kamu dihadapkan dengan kenyataan (baca ini tolong jangan baper, jeball).



Trus gimana dong, jumlah penduduk semakin meningkat, lahan yang dibutuhkan untuk bertanam demi memenuhi kebutuhan pokok serta tempat tinggal semakin luas, mau cari tanah ke mana lagi? Bikin perabot rumah tangga, kayunya ambil di mana lagi? <Bentar... mikir dulu mau jawab apa.>



Nah, ini dia. Kabar burung yang saya dengar, jumlah penduduk yang berpendidikan juga meningkat, lho. Asal tahu saja, tamat dari SMA, SMK, ataupun perguruan tinggi, tak melulu harus kerja di institusi ini, institusi itu dulu baru bisa dibilang sukses. Coba deh bikin projek sendiri, bisa juga projek ‘keroyokan’. Pikirkan masalah keuntungan sendiri dan keuntungan bersama. Pikirkan bagaimana caranya menghasilkan uang tapi tidak dengan merusak alam. Lulusan sarjana di negara ini bermacam ragam. Bukan cuma lulusan ekonomi yang memikirkan cara mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan pengorbanan seminimum mungkin, tapi negara ini juga punya lulusan hukum, pertanian, perkebunan, teknik, dan lain-lain yang kalau diajak kerjasama bakal klop dan menemukan solusi yang tepat, Insya Allah.



Mungkin terkesan receh, tapi baru itu solusi yang terpikir di tengah malam seperti ini. Intinya cuma mau bilang, Indonesia itu kaya. Kita kaya, jangan mau jadi orang kaya bodoh. Sebuah tontonan, harus bisa disaring baik buruknya. Setidaknya ambil satu hikmah yang bisa bikin kamu makin dekat dengan sang Pencipta dan terus maju ke depan. <Sekilas jadi keinget pas waktu nonton drama Goblin, hikmahnya itu mengingatkan si penonton mengenai kematian. Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati. Dan yang bakal lo hadapi setelah itu bukanlah seindah yang di drama. Perjalanan setelah itu masih panjang. Jangan lupa untuk mempersiapkannya ;)>



At last, Sungyeol cocok jadi pemain tetap di acara ini kayaknya. Kepala Suku, Bapak Byung Man, bawalah dia di setiap perburuanmu! LOL. Sampai jumpa di ulasan film / drama / variety show yang lainnya :)

***

Kutipan ayat :

Q.S. Arrahman : 6-9

Dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya) [6]. Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan [7]. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu [8]. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu [9].

***