Datanglah
Kembali, Delapan Tahun yang Lalu
-
Rahmi Afzhi Wefielananda -
Halo....
Sudah lama bukan, kita tidak berjumpa. Pertemuan terakhir kita kuingat sekitar
delapan tahun lalu. Ketika itu kita masih punya banyak waktu untuk bersama,
setiap hari. Kuharap engkau tak melupakanku, serta seluruh pembicaraan yang
pernah kita bahas di masa lampau.
“Halo Lui!” ujarmu. Aku senang kau
masih mengingat namaku. Namun kuyakin, mustahil bagi kita untuk melupakan
semudah itu saja, bukan? Aku sahabatmu, dan engkau adalah sahabatku. Namamu,
Irha. Anak perempuan yang sudah kukenal semenjak empat belas tahun lalu,
tepatnya saat kita sama-sama duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Hari ini
adalah pertemuan pertamaku denganmu semenjak kita tamat dari SMA. Waktu itu
kita sama-sama memiliki mimpi yang tinggi, engkau ingin menjadi pengusaha, dan
aku ingin menjadi dokter.
“Biaya kuliah kedokteran itu mahal,
Lui. Aku juga harus menggunakan logika untuk memikirkan cita-citaku, sesuai
kemampuanku.” Aku kagum melihatmu saat itu. Sangat bijaksana. Pemikiranmu jauh
lebih dewasa dariku. Kupikir aku bisa beranjak dewasa setelah memahami setiap
perkataanmu. Sampai kini, aku masih berterimakasih karena hal tersebut.
Hari ini, engkau masih seperti
delapan tahun lalu. Bersahaja dan tetap menjadi sosok sahabat sekaligus kakak
bagiku. Di toko kue ini, aku kembali mengingat perjalanan kita dahulu. Lebih
jelasnya, perjalanan yang selalu kita lalui dari sekolah menuju rumah. “Ck....”
Aku tersenyum jika mengingatnya. Kita selalu berjalan bersama sepulang dari
sekolah, namun tidak untuk berangkat ke sekolah. Itu karena kesibukanmu,
mengantarkan kue-kue buatan ibumu sebelum menuju ke sekolah. Lagi-lagi, hal itu
memperkuat dugaanku tentangmu, bahwa engkau adalah sosok yang patut untuk
kutiru.
“Lui!” Sekali lagi panggilan itu
ditujukan padaku, “kamu benar Lui, kan?” Aku mengangguk menjawab pertanyaanmu.
“Lihatlah, bagaimana kejamnya
dirimu. Aku sudah memanggilmu ratusan kali semenjak aku memasuki toko ini,
itupun hanya kau jawab dengan sebuah anggukan? Apakah aku sebaiknya pergi
saja?” Aku tau kau sedang bercanda. Itulah gayamu, hiperbola.
“Lalu aku harus menjawab apa? Iya,
akulah Lui. Lui teman lamamu, Irha. Iya, aku Lui, teman yang telah engkau
tinggalkan semenjak delapan tahun lalu. Aku Lui!” teriakku dengan semangat.
“Wah, engkau sudah banyak berubah,
ya. Aku kira kau masih pendiam seperti dulu. Tak kusangka ternyata kamu juga
bisa menjadi seseorang yang bawel.
Akhirnya, aku tidak perlu nyinyir sendiri jika berbicara denganmu.” Gelak tawamu
menggema seisi toko.
“Ini semua juga karenamu yang
cerewet telah membawa pengaruh padaku,” ujarku kemudian ikut tertawa. Hari ini
aku senang, bisa bertemu denganmu dan menghidupkan suasana percakapan kita.
Tidak seperti delapan tahun lalu, saat di mana hanya dirimu yang sibuk mengoceh
hingga berbusa dan hanya kutanggapi dengan senyuman atau sekadar jawaban
singkat. Meskipun begitu, aku adalah seorang pendengar dan pengingat yang baik.
Aku mencerna semua yang kau bicarakan, jadi engkau tak usah khawatir soal hal
itu.
Sekilas kembali kuingat memori kita
dahulu. Pemikiran bijakmu telah membawaku pada berbagai percakapan yang sedikit
demi sedikit membuka pemikiranku.
“Hidup dengan memiliki banyak uang
tentu menyenangkan, iya kan Lui?” Aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya
kemudian mengangguk pelan.
“Tapi kenapa mereka tidak suka
berbagi kebahagiaan pada orang lain? Kebahagiaan yang kumaksud tidaklah harus
berbayar. Menolong dengan tulus merupakan kebahagiaan, kan? Meskipun jika
mereka ingin berbagi kebahagiaan dengan uang, akupun tak kan mengelak, itu juga
kebahagiaan untukku.” Setelah itu, tawamu pecah. Aku berpikir saat itu engkau
tengah meminta uang kepadaku secara ironi. Namun aku salah, ternyata ada
kelanjutan dari perkataanmu.
“Apa sesama orang kaya saling
berbicara? Hmm... maksudku apakah mereka akan membahas hal lain selain bisnis,
kekayaan, dan jabatan anggota keluarganya jika mereka berjumpa? Huft, aku telah
menjadi korban drama bukan? Hahahaha, yang kulihat di televisi selalu begitu.
Jika ada dua atau lebih orang-orang kaya yang bertemu, mereka hanya membahas
mengenai bisnis, saham, dan kekayaan lain.” Perkataanmu sudah seperti semacam
teori. Engkau menoleh ke arahku menunggu sebuah jawaban.
“Tidak juga,” jawabku lirih. Aku
masih belum memahami apa yang engkau maksud. Inilah pertanyaan yang selalu
terngiang di kepalaku. Tidakkah dia tahu bagaimana kondisi keluargaku, padahal
kita sudah saling mengenal sejak SMP? Ataukah dia ingin menyindirku secara
halus? Tidak, kurasa bukan itu maksudmu. Engkau bukanlah tipe orang yang akan
menyakiti hati orang lain walaupun hobimu adalah mengoceh sepanjang perjalanan
kita dari sekolah menuju rumah.
“Sampai bertemu besok, Lui!” Engkau
melambaikan tangan padaku. Kita selalu berpisah di persimpangan ini. Aku akan berbelok
ke kiri dan engkau akan terus berjalan lurus. Persimpangan ini selalu menjadi
titik perpisahan kita, enam tahun terakhir. Saat itu kita masih kelas tiga di
bangku SMA, enam tahun semenjak pertemuan pertama di kelas satu SMP.
Iringan melodi yang lembut mengalun menjadi
musik pengantar di toko ini. Kue serabi yang disajikan menjadi pemanis
pertemuan kita.
“Kamu sudah sukses sekarang,” ujarmu
memecah keheningan.
“Darimana kamu tahu? Aku pikir kamu
yang lebih sukses.” Aku tersenyum.
“Hahaha, kamu sudah hebat membual
sekarang ya.” Gaya bicaramu masih khas. Seakan-akan keras, namun tidak
menyakiti perasaanku, karena aku sudah terbiasa dengan gaya candamu.
“Gaya pakaianmu yang mengatakan
padaku.” Kuakui gaya bahasaku yang penuh majas ini kupelajari darimu. Metafora,
begitulah istilah yang pernah kausebutkan dulu.
“Engkau mempelajarinya dengan baik,
Sobat.” Engkau mengacungkan jempol kepadaku. Aku bahagia, bisa akrab kembali
denganmu seperti dulu lagi.
Pernah dulu kita hanya membahas
mengenai gaya bahasa sepanjang perjalanan pulang sekolah. “Kukira hidup ini
penuh paradog. Karena itulah manusia jarang bersukur,” ungkapmu. Aku
mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
“Iya, sering kudengar istilah duduk
sendiri terasa sempit, duduk bersama terasa lapang. Kukira itu sama saja
artinya dengan orang yang merasa sepi dan sendiri tinggal di rumah yang besar,
namun berbeda dengan orang yang tinggal di rumah sempit yang akan merasakan
keramaian dan kenyamanan. Sepertinya istilah itulah yang membuat orang-orang kaya
tidak menyukuri hal yang mereka miliki. Asal engkau tahu Lui, aku membencinya.”
Pernyataanmu yang panjang lebar hanya mampu kubalas dengan manggut-manggut
tanda mengerti.
“Apakah orang-orang kaya hanya
membicarakan bisnis ketika mereka berjumpa? Apa tidak ada hal yang lain yang
perlu mereka bicarakan?” Pertanyaan berulang yang terus engkau ajukan padaku.
Aku masih belum mengerti apakah itu sebuah sindiran atau hanya sekadar rasa
penasaranmu.
“Kurasa tidak juga,” jawabku
singkat.
“Entah kenapa, aku membenci
orang-orang kaya. Tapi sepertinya karena mereka suka meremehkan hal-hal kecil,”
katamu. Tepat saat itu, kita telah sampai di persimpangan. Engkau melanjutkan
perjalananmu setelah melambai padaku. Aku melengah ke arah kiri, menatap
panjang jalan menuju rumahku. Irha, apakah engkau tidak tahu aku tinggal di
sekitar sini? Rumah bercat biru tua, berjarak lima meter ke arah kiri dari
persimpangan ini. Bukan maksudku untuk pamer, tapi aku yakin semua orang juga
tahu jika komplek sebelah kiri dari persimpangan ini adalah milik orang-orang
berada. Apakah engkau tahu keadaan keluargaku? Engkau selalu membahas mengenai
kebencianmu pada orang kaya. Apakah engkau tahu, bahwa setidaknya orang kaya
yang kau bicarakan adalah sahabatmu sendiri?
Sampai saat ini aku belum menemukan
jawaban dari pertanyaan masa laluku. Sejak dahulu aku tidak menemukan kebencian
darimu untukku. Karena itulah aku menganggap bahwa engaku tidak tahu mengenai
kedaan keluargaku. Kita tidak pernah saling berkunjung ke rumah satu sama lain.
Engkau terlalu sibuk membantu ibumu untuk berjualan dan mengantar kue-kue.
“Hmm.... Jadi, apa kamu sudah
menjadi seorang dokter sekarang?” Engkau bertanya, menyadarkanku dari lamunan.
“Tidak, aku menjadi seorang guru.
Aku tidak sepintarmu untuk bisa mencapai sekolah kedokteran. Setidaknya kuharap
aku bisa membagikan ilmu pada calon-calon dokter masa depan, hehe. Seharusnya
kamu yang bercita-cita menjadi dokter, bukan aku.”
“Sudah kukatakan, sekolah kedokteran
itu mahal,” jawabmu tersenyum.
“Lalu, apa dirimu telah menjadi
pengusaha sukses? Jika boleh kutebak, cita-citamu benar-benar tercapai.” Aku
bergaya seperti seorang yang ahli, tentu saja itu sebuah candaan.
Engkau pun mengangguk. Iya, benar.
Engkau telah berhasil menjadi seorang pengusaha sukses. Tampil di berbagai
acara televisi. Aku sering melihatmu. Tidak diragukan lagi, engkau benar-benar
sukses.
Pembicaraan kita pun berlanjut.
Namun, semakin lama aku merasa seperti sedang merasakan dejavu. Ada yang aneh, ada hal yang mengganjal. Semua itu terus
kurasakan hingga kita berjalan pulang bersama. Masih di jalan yang sama, kita
berpisah di persimpangan. Namun kini, ada sedikit perbedaan. Aku masih berbelok
ke arah kiri, berbeda denganmu. Engkau kini sudah berbelok ke arah kanan. Semua
orang juga tahu, bahwa komplek sebelah kanan persimpangan ini adalah milik
pengusaha-pengusaha kaya. Bangunannya jauh lebih megah dan mewah dibanding
komplek persimpangan sebelah kiri.
“Sampai jumpa, Lui!” Aku memandang
punggungmu yang mulai menjauh, berbelok ke arah kanan. Aku masih berdiri di
sini, di persimpangan ini. Kuingat kembali pertanyaanmu di masa lalu.
“Apakah orang kaya akan membahas hal
lain selain bisnis, kekayaan, dan jabatan anggota keluarganya jika mereka
berjumpa?”
“Entah kenapa, aku membenci orang-orang
kaya. Tapi sepertinya karena mereka suka meremehkan hal-hal kecil.”
Jika kuulang rekaman pembicaraan
kita di toko roti tadi hingga sepanjang perjalanan, tak luput dari masalah
karir, gaji, saham, dan masalah keuntungan finansial lainnya. Tak ada lagi
pembahasan kita seperti di masa lalu. Membahas mengenai bahasa, istilah, atau
hal-hal lain yang lebih menghangatkan suasana. Aku tahu, dunia terus berputar.
Akan ada perubahan, walaupun jiwa bijaksanamu masih kudapatkan. Namun, harus
engkau tahu, dua hari yang lalu aku membaca berita mengenai kasus penipuan yang
dilakukan oleh seorang pengusaha yang tinggal di sebelah kanan persimpangan
ini. Apakah ini maksud pembicaraanmu delapan tahun lalu?
Bukan untuk menyindirku karena aku
lebih berada darimu. Namun sepertinya engkau telah membaca situasi apabila
suatu saat engkau berada di posisi yang paling engkau benci itu. Mungkinkah
sejak delapan tahun lalu, engkau memintaku untuk mengingatkanmu tentang hal ini
suatu hari nanti? Bahwa orang kaya tidak hanya membicarakan mengenai harta,
namun juga membicarakan hal yang sepatutnya kita bicarakan sebagai sesama
manusia. Sekaligus tidak meremehkan hal-hal kecil yang sering kita lupa. Orang
kaya juga membicarakan mengenai masalah kebaikan, masalah sesama, masalah umat,
masalah kebahagiaan, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain.
Itulah yang membuat pembicaraan kita lebih nyaman. Tenanglah Irha, aku sudah
mengerti maksudmu delapan tahun lalu. Aku akan membantumu untuk mengembalikan
pembicaraan kita delapan tahun lalu.
Petikan
ayat
Q.S. Al-Asr 1-3
Demi masa (1). Sesungguhnya manusia
benar-benar dalam keadaan merugi (2). Kecuali orang-orang yang senantiasa
beriman dan beramal saleh dan saling menasihati di dalam kebenaran dan
kesabaran (3).
***
Sumber gambar: pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar