Selasa, 07 Februari 2017

Datanglah Kembali, Delapan Tahun yang Lalu - Rahmi Afzhi Wefielananda -


Datanglah Kembali, Delapan Tahun yang Lalu
- Rahmi Afzhi Wefielananda -

Halo.... Sudah lama bukan, kita tidak berjumpa. Pertemuan terakhir kita kuingat sekitar delapan tahun lalu. Ketika itu kita masih punya banyak waktu untuk bersama, setiap hari. Kuharap engkau tak melupakanku, serta seluruh pembicaraan yang pernah kita bahas di masa lampau.
            “Halo Lui!” ujarmu. Aku senang kau masih mengingat namaku. Namun kuyakin, mustahil bagi kita untuk melupakan semudah itu saja, bukan? Aku sahabatmu, dan engkau adalah sahabatku. Namamu, Irha. Anak perempuan yang sudah kukenal semenjak empat belas tahun lalu, tepatnya saat kita sama-sama duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Hari ini adalah pertemuan pertamaku denganmu semenjak kita tamat dari SMA. Waktu itu kita sama-sama memiliki mimpi yang tinggi, engkau ingin menjadi pengusaha, dan aku ingin menjadi dokter.
            “Biaya kuliah kedokteran itu mahal, Lui. Aku juga harus menggunakan logika untuk memikirkan cita-citaku, sesuai kemampuanku.” Aku kagum melihatmu saat itu. Sangat bijaksana. Pemikiranmu jauh lebih dewasa dariku. Kupikir aku bisa beranjak dewasa setelah memahami setiap perkataanmu. Sampai kini, aku masih berterimakasih karena hal tersebut.
            Hari ini, engkau masih seperti delapan tahun lalu. Bersahaja dan tetap menjadi sosok sahabat sekaligus kakak bagiku. Di toko kue ini, aku kembali mengingat perjalanan kita dahulu. Lebih jelasnya, perjalanan yang selalu kita lalui dari sekolah menuju rumah. “Ck....” Aku tersenyum jika mengingatnya. Kita selalu berjalan bersama sepulang dari sekolah, namun tidak untuk berangkat ke sekolah. Itu karena kesibukanmu, mengantarkan kue-kue buatan ibumu sebelum menuju ke sekolah. Lagi-lagi, hal itu memperkuat dugaanku tentangmu, bahwa engkau adalah sosok yang patut untuk kutiru.
            “Lui!” Sekali lagi panggilan itu ditujukan padaku, “kamu benar Lui, kan?” Aku mengangguk menjawab pertanyaanmu.
            “Lihatlah, bagaimana kejamnya dirimu. Aku sudah memanggilmu ratusan kali semenjak aku memasuki toko ini, itupun hanya kau jawab dengan sebuah anggukan? Apakah aku sebaiknya pergi saja?” Aku tau kau sedang bercanda. Itulah gayamu, hiperbola.
            “Lalu aku harus menjawab apa? Iya, akulah Lui. Lui teman lamamu, Irha. Iya, aku Lui, teman yang telah engkau tinggalkan semenjak delapan tahun lalu. Aku Lui!” teriakku dengan semangat.
            “Wah, engkau sudah banyak berubah, ya. Aku kira kau masih pendiam seperti dulu. Tak kusangka ternyata kamu juga bisa menjadi seseorang yang bawel. Akhirnya, aku tidak perlu nyinyir sendiri jika berbicara denganmu.” Gelak tawamu menggema seisi toko.
            “Ini semua juga karenamu yang cerewet telah membawa pengaruh padaku,” ujarku kemudian ikut tertawa. Hari ini aku senang, bisa bertemu denganmu dan menghidupkan suasana percakapan kita. Tidak seperti delapan tahun lalu, saat di mana hanya dirimu yang sibuk mengoceh hingga berbusa dan hanya kutanggapi dengan senyuman atau sekadar jawaban singkat. Meskipun begitu, aku adalah seorang pendengar dan pengingat yang baik. Aku mencerna semua yang kau bicarakan, jadi engkau tak usah khawatir soal hal itu.
            Sekilas kembali kuingat memori kita dahulu. Pemikiran bijakmu telah membawaku pada berbagai percakapan yang sedikit demi sedikit membuka pemikiranku.
            “Hidup dengan memiliki banyak uang tentu menyenangkan, iya kan Lui?” Aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya kemudian mengangguk pelan.
            “Tapi kenapa mereka tidak suka berbagi kebahagiaan pada orang lain? Kebahagiaan yang kumaksud tidaklah harus berbayar. Menolong dengan tulus merupakan kebahagiaan, kan? Meskipun jika mereka ingin berbagi kebahagiaan dengan uang, akupun tak kan mengelak, itu juga kebahagiaan untukku.” Setelah itu, tawamu pecah. Aku berpikir saat itu engkau tengah meminta uang kepadaku secara ironi. Namun aku salah, ternyata ada kelanjutan dari perkataanmu.
            “Apa sesama orang kaya saling berbicara? Hmm... maksudku apakah mereka akan membahas hal lain selain bisnis, kekayaan, dan jabatan anggota keluarganya jika mereka berjumpa? Huft, aku telah menjadi korban drama bukan? Hahahaha, yang kulihat di televisi selalu begitu. Jika ada dua atau lebih orang-orang kaya yang bertemu, mereka hanya membahas mengenai bisnis, saham, dan kekayaan lain.” Perkataanmu sudah seperti semacam teori. Engkau menoleh ke arahku menunggu sebuah jawaban.
            “Tidak juga,” jawabku lirih. Aku masih belum memahami apa yang engkau maksud. Inilah pertanyaan yang selalu terngiang di kepalaku. Tidakkah dia tahu bagaimana kondisi keluargaku, padahal kita sudah saling mengenal sejak SMP? Ataukah dia ingin menyindirku secara halus? Tidak, kurasa bukan itu maksudmu. Engkau bukanlah tipe orang yang akan menyakiti hati orang lain walaupun hobimu adalah mengoceh sepanjang perjalanan kita dari sekolah menuju rumah.
            “Sampai bertemu besok, Lui!” Engkau melambaikan tangan padaku. Kita selalu berpisah di persimpangan ini. Aku akan berbelok ke kiri dan engkau akan terus berjalan lurus. Persimpangan ini selalu menjadi titik perpisahan kita, enam tahun terakhir. Saat itu kita masih kelas tiga di bangku SMA, enam tahun semenjak pertemuan pertama di kelas satu SMP.
            Iringan melodi yang lembut mengalun menjadi musik pengantar di toko ini. Kue serabi yang disajikan menjadi pemanis pertemuan kita.
            “Kamu sudah sukses sekarang,” ujarmu memecah keheningan.
            “Darimana kamu tahu? Aku pikir kamu yang lebih sukses.” Aku tersenyum.
            “Hahaha, kamu sudah hebat membual sekarang ya.” Gaya bicaramu masih khas. Seakan-akan keras, namun tidak menyakiti perasaanku, karena aku sudah terbiasa dengan gaya candamu.
            “Gaya pakaianmu yang mengatakan padaku.” Kuakui gaya bahasaku yang penuh majas ini kupelajari darimu. Metafora, begitulah istilah yang pernah kausebutkan dulu.
            “Engkau mempelajarinya dengan baik, Sobat.” Engkau mengacungkan jempol kepadaku. Aku bahagia, bisa akrab kembali denganmu seperti dulu lagi.
            Pernah dulu kita hanya membahas mengenai gaya bahasa sepanjang perjalanan pulang sekolah. “Kukira hidup ini penuh paradog. Karena itulah manusia jarang bersukur,” ungkapmu. Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
            “Iya, sering kudengar istilah duduk sendiri terasa sempit, duduk bersama terasa lapang. Kukira itu sama saja artinya dengan orang yang merasa sepi dan sendiri tinggal di rumah yang besar, namun berbeda dengan orang yang tinggal di rumah sempit yang akan merasakan keramaian dan kenyamanan. Sepertinya istilah itulah yang membuat orang-orang kaya tidak menyukuri hal yang mereka miliki. Asal engkau tahu Lui, aku membencinya.” Pernyataanmu yang panjang lebar hanya mampu kubalas dengan manggut-manggut tanda mengerti.
            “Apakah orang-orang kaya hanya membicarakan bisnis ketika mereka berjumpa? Apa tidak ada hal yang lain yang perlu mereka bicarakan?” Pertanyaan berulang yang terus engkau ajukan padaku. Aku masih belum mengerti apakah itu sebuah sindiran atau hanya sekadar rasa penasaranmu.
            “Kurasa tidak juga,” jawabku singkat.
            “Entah kenapa, aku membenci orang-orang kaya. Tapi sepertinya karena mereka suka meremehkan hal-hal kecil,” katamu. Tepat saat itu, kita telah sampai di persimpangan. Engkau melanjutkan perjalananmu setelah melambai padaku. Aku melengah ke arah kiri, menatap panjang jalan menuju rumahku. Irha, apakah engkau tidak tahu aku tinggal di sekitar sini? Rumah bercat biru tua, berjarak lima meter ke arah kiri dari persimpangan ini. Bukan maksudku untuk pamer, tapi aku yakin semua orang juga tahu jika komplek sebelah kiri dari persimpangan ini adalah milik orang-orang berada. Apakah engkau tahu keadaan keluargaku? Engkau selalu membahas mengenai kebencianmu pada orang kaya. Apakah engkau tahu, bahwa setidaknya orang kaya yang kau bicarakan adalah sahabatmu sendiri?
            Sampai saat ini aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan masa laluku. Sejak dahulu aku tidak menemukan kebencian darimu untukku. Karena itulah aku menganggap bahwa engaku tidak tahu mengenai kedaan keluargaku. Kita tidak pernah saling berkunjung ke rumah satu sama lain. Engkau terlalu sibuk membantu ibumu untuk berjualan dan mengantar kue-kue.
            “Hmm.... Jadi, apa kamu sudah menjadi seorang dokter sekarang?” Engkau bertanya, menyadarkanku dari lamunan.
            “Tidak, aku menjadi seorang guru. Aku tidak sepintarmu untuk bisa mencapai sekolah kedokteran. Setidaknya kuharap aku bisa membagikan ilmu pada calon-calon dokter masa depan, hehe. Seharusnya kamu yang bercita-cita menjadi dokter, bukan aku.”
            “Sudah kukatakan, sekolah kedokteran itu mahal,” jawabmu tersenyum.
            “Lalu, apa dirimu telah menjadi pengusaha sukses? Jika boleh kutebak, cita-citamu benar-benar tercapai.” Aku bergaya seperti seorang yang ahli, tentu saja itu sebuah candaan.
            Engkau pun mengangguk. Iya, benar. Engkau telah berhasil menjadi seorang pengusaha sukses. Tampil di berbagai acara televisi. Aku sering melihatmu. Tidak diragukan lagi, engkau benar-benar sukses.
            Pembicaraan kita pun berlanjut. Namun, semakin lama aku merasa seperti sedang merasakan dejavu. Ada yang aneh, ada hal yang mengganjal. Semua itu terus kurasakan hingga kita berjalan pulang bersama. Masih di jalan yang sama, kita berpisah di persimpangan. Namun kini, ada sedikit perbedaan. Aku masih berbelok ke arah kiri, berbeda denganmu. Engkau kini sudah berbelok ke arah kanan. Semua orang juga tahu, bahwa komplek sebelah kanan persimpangan ini adalah milik pengusaha-pengusaha kaya. Bangunannya jauh lebih megah dan mewah dibanding komplek persimpangan sebelah kiri.
            “Sampai jumpa, Lui!” Aku memandang punggungmu yang mulai menjauh, berbelok ke arah kanan. Aku masih berdiri di sini, di persimpangan ini. Kuingat kembali pertanyaanmu di masa lalu.
            “Apakah orang kaya akan membahas hal lain selain bisnis, kekayaan, dan jabatan anggota keluarganya jika mereka berjumpa?”
            “Entah kenapa, aku membenci orang-orang kaya. Tapi sepertinya karena mereka suka meremehkan hal-hal kecil.”
            Jika kuulang rekaman pembicaraan kita di toko roti tadi hingga sepanjang perjalanan, tak luput dari masalah karir, gaji, saham, dan masalah keuntungan finansial lainnya. Tak ada lagi pembahasan kita seperti di masa lalu. Membahas mengenai bahasa, istilah, atau hal-hal lain yang lebih menghangatkan suasana. Aku tahu, dunia terus berputar. Akan ada perubahan, walaupun jiwa bijaksanamu masih kudapatkan. Namun, harus engkau tahu, dua hari yang lalu aku membaca berita mengenai kasus penipuan yang dilakukan oleh seorang pengusaha yang tinggal di sebelah kanan persimpangan ini. Apakah ini maksud pembicaraanmu delapan tahun lalu?
            Bukan untuk menyindirku karena aku lebih berada darimu. Namun sepertinya engkau telah membaca situasi apabila suatu saat engkau berada di posisi yang paling engkau benci itu. Mungkinkah sejak delapan tahun lalu, engkau memintaku untuk mengingatkanmu tentang hal ini suatu hari nanti? Bahwa orang kaya tidak hanya membicarakan mengenai harta, namun juga membicarakan hal yang sepatutnya kita bicarakan sebagai sesama manusia. Sekaligus tidak meremehkan hal-hal kecil yang sering kita lupa. Orang kaya juga membicarakan mengenai masalah kebaikan, masalah sesama, masalah umat, masalah kebahagiaan, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. Itulah yang membuat pembicaraan kita lebih nyaman. Tenanglah Irha, aku sudah mengerti maksudmu delapan tahun lalu. Aku akan membantumu untuk mengembalikan pembicaraan kita delapan tahun lalu.

Petikan ayat
Q.S. Al-Asr 1-3
Demi masa (1). Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi (2). Kecuali orang-orang yang senantiasa beriman dan beramal saleh dan saling menasihati di dalam kebenaran dan kesabaran (3).

***

Sumber gambar: pixabay.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar