Yuhu~~~
Akhirnya blog yang sudah berdebu dan tampilannya sudah sangat ketinggalan zaman
ini kembali beroperasi. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, akhirnya kemageran yang selama ini datang
bertubi-tubi sekaligus beberapa kesibukan – yang pada dasarnya hanya sok-sokkan
menyibukkan diri – bisa di-pause
sejenak kali ini.
Nah
tulisan ini agak berbeda dari postingan sebelumnya, bukan berisikan
cerita-cerita semacam cerpen, cerbung, referensi buku, atau variety show terbaru. Aku belum
menemukan ide cerita baru pemirsa, maafkan.... Sebenarnya tulisan ini lebih ke
arah dokumentasi tersendiri buatku agar ke depannya aku ingat kalau aku pernah
sadar dan sempat mendapatkan titik cerah dari rundung duka yang beberapa waktu
lalu sempat melanda. Ah, bahasa dirundung duka terlalu lebay sepertinya, mari kuganti
katanya dengan ‘kegalauan’ (Elah sok-sokkan galau, kayak anak remaja yang baru
puber aja lu Tong).
Kenapa
galau? Udah seberumur segini masih galau? Masa nggak bisa nyari ketenangan
sendiri? Benar-benar sudah bukan zamannya lagi Ferguso~~~
Bukan
begitu pemirsa, tahan dulu pertanyaannya. Mari kumulai dulu bercerita dari
latar belakang, agar tulisan ini terlihat lebih sedikit alamiah, akademik, dan
mendidik.
Saat
umurku memasuki akhir 20, di situlah semuanya bermula. Apalagi kalau bukan
urusan sekeripsi alias skripsweet, bahasa baik-baiknya SKRIPSI.
Aih, sungguh gila sekali keadaan waktu itu. Bayangkan saat dirimu ngebet banget
pengen wisuda, cepat-cepat tamat, dan wushhh urusan skripsi, olah data, ambil
kesimpulan, jurnal-jurnalan malah semakin pelik. Belum lagi mau menemui dospem,
minta tanda tangan, revisi, dan semacamnya. Ada juga keadaan Papa yang sedang
sakit dan mesti bolak-balik buat berobat. Air mata tumpah ruah kala itu, Sist,
Bro. Drama sekali pokoknya, melebihi drama M-net di kalangan anak-anak produce
dan para pengharap award. Ingin menghujat tapi takut dosa. Tapi...
Alhamdulillah wa syukurillah pas hampir di titik mau menyerah Allah kasih
jalan. Yeay~~~ wisuda kita dong ya. Oke, saat itu aku tutup dengan bahagia.
Masuk
umur 21 pas, di sini mulailah perjalanan hidup yang kalau kata orang-orang,
‘Jadi orang dewasa itu nggak mudah’ – maka dari itu sebenarnya sejak dulu aku
nggak pernah punya cita-cita menjadi dewasa. Mau nggak mau, kalau umur panjang,
maka fase mulai menjadi orang dewasa itu harus dilalui dong (meskipun sampai
saat ini aku anti dibilang dewasa. *tidak sadar umur sama sekali*). Habis
wisuda, ternyata nggak habis di situ doang Sist, Bro. Lebih rumit dari skripsi
dan sedikit lebih pahit dari rasa daun pepaya. Pasca wisuda mau ngapain Neng?
Kerja? Kuliah? Oke, sebenarnya aku udah punya target tersendiri. Cuma yang
namanya hidup di dunia yang fana ini, tak semua berjalan sesuai keinginan.
Maunya A, tapi nggak tercapai, lanjut mau B, belum tercapai juga, ambil pilihan
C, belum rezeki. Ditambah lagi pertanyaan dari penduduk (aih penduduk, sudah
macam hendak sensus tahunan saja) sekitar, “Sekarang sibuk apa? Kerja dimana?
Udah jadi daftar kuliah?” Jujur gengs, saat itu menurutku pertanyaan tersebut
adalah hal terberisik yang bikin telinga pengang.
Lanjut
ke pertengahan umur 21, makin drama lagi. Mulai stres, banyak pikiran, dan
menyalahkan diri sendiri. Beberapa rencana dari yang urutan pertama sampai
beberapa list rencana ke bawah sudah
dikasih garis merah, alias gagal. Puyeng dong gagal berkali-kali, coba ini coba
itu belum juga berhasil. Ini fase paling parah, tepatnya itu baru beberapa
waktu lalu. Udah usaha segala cara, belajar, sampai-sampai ambil les Toefl,
tapi sepertinya tidak ada kemajuan yang signifikan. Jangan tanya perihal doa
atau ibadah, oke. Masing-masing kita punya porsi tersendiri yang tak bisa
dipublikasikan. Intinya doa harus gandengan sama usaha, usaha harus diiringi
doa. Meskipun begitu, ujung-ujungnya aku sering menyalahkan takdir, tidak
menerima dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu, sampai membandingkan
nikmat yang Allah kasih ke orang lain dengan nikmat yang Allah kasih untukku.
Sip,
latar belakangnya sampai di situ dulu. Kesimpulannya, ketika menjadi mahasiswa
akhir hingga saat ini, banyak kesulitan yang dilalui, hanya sedikit
keberuntungan yang aku rasa aku dapatkan. Lanjut, ke rumusan masalah. ‘Jadi
kamu tu mau cerita apaan Ai? Ini mau ngeluh sampai akhir dan minta belas
kasihan apa gimana?’ (Hahaha, aku tak semenyedihkan itu Maemunah, silakan scroll lagi ke bawah)
Ketika
aku melalui fase-fase di atas, sebenarnya ada dua hal yang aku butuhkan.
Dukungan dan motivasi. Kalau motivasi dari keluarga, orangtua, saudara sudah
mantap. Aku bersyukur sekali sama keluargaku yang nggak muluk minta babibu dan lalala
sebagainya. Bahkan ketika aku gagal berkali-kali, aku sama sekali tidak pernah
disalahkan atau diminta untuk berhenti. “Tenang, masih ada tahun besok,” begitu
kira-kira. Yang menjadi permasalahan utama itu adalah AKU SENDIRI. Aku, lupa
untuk mendukung diriku, tak ingat untuk memotivasi diriku, karena sudah
terlanjur menyalahkan diri sendiri dan takdir yang Allah kasih. Blasssh, kalau dari diri sendiri saja
sudah babak belur begini, maka tidak akan mungkin pikiran-pikiran positif itu
bisa datang secara instan, kan?
Mau
cerita kepada orang lain, rasanya juga tak nyaman. Aku sadar, sepertinya
orang-orang seumuranku memiliki kesulitan masing-masing yang mereka emban.
Tidak tega juga rasanya mau berkeluh-kesah kepada orang yang sebenarnya juga
butuh dukungan (Oke, mungkin di sini kalian bisa mulai menangkap kalau aku suka
pesimis sebelum mencoba, ini juga salah satu yang jadi masalah kepribadianku).
Sampai akhirnya aku bisa bercerita ke salah satu teman dan waw... tak seperti
yang dikira. Dia bisa kasih solusi yang jelas, mulus, dan tepat sasaran,
walaupun dia juga tidak sepenuhnya dalam keadaan baik-baik saja. So, kali ini biarkan aku memberikan
nasihat yang selama ini jarang kulakukan. ‘JANGAN PERNAH BIARKAN DIRIMU SENDIRI
MEMIKIRKAN MASALAHMU. ADA ORANG LAIN YANG BISA KAMU AJAK BICARA. TEMUKAN
SETIDAKNYA SATU ORANG DIANTARA MILYARAN UMAT MANUSIA YANG ADA SAAT INI YANG
BISA MENDENGARKAN CERITAMU. JANGAN CARI SOLUSIMU SENDIRI JIKA KAMU TAK SANGGUP
MELAKUKANNYA.’
Kenapa
aku bisa bilang pakai CAPSLOCK huruf gede sok-sok tegas seperti itu? Begini,
beberapa waktu lalu aku sempat menemani Papaku ke rumah sakit untuk membesuk
seseorang, pokoknya seseorang. Jeball,
di sini aku mau mengingatkan, bukan menyebarkan aib. Semoga saja jika cerita
ini berkenan buat kalian semua, tokoh cerita ini bisa mendapatkan pahala dan
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin. Beliau ini terkena gangguan
jiwa dan stres akut. KENAPA? Nah ini yang mau aku jelaskan. KARENA dia belum
bisa mencapai keinginan dan cita-citanya, sedangkan di sisi lain dia melihat
orang lain yang menurutnya tak lebih baik darinya, malah mendapatkan hal yang
dia cita-citakan tersebut. Well,
sebagai manusia, jujur, kalian pernah merasakan seperti ini kan? Aku sendiri,
jujur, pernah. Bagaimana perasaan kita saat gagal ditambah melihat kesuksesan
orang lain tepat di depan mata kita. Sedih? Iri? Benci? Anggap saja jawabannya
YA. Pemikiran seperti itu terus tumbuh dan subur dalam pikiran kita sebagai seseorang
yang gagal. Di situ mulai sang iblis durjana ikutan nimbrung, kasih
masukan-masukan, bisikan-bisikan, dan nasihat-nasihat yang na’udzubillah kalau sampai diikuti.
Hati-hati sama penyakit hati. Setelah itu mulai muncul stres, frustasi dan jika
tidak bisa ditahan lagi, maka akan masuk ke fase yang lebih parah. Paham kan
maksudnya bagaimana?
Lanjut,
paragraf baru (Semriwing juga ini mata kalau baca satu paragraf terlalu panjang
seperti catatan hutang). Di situ aku mulai berpikir, ‘Apa sih yang kita cari
dari sebuah keinginan, ambisi dan cita-cita? Kesuksesan, pujian, harta
kekayaan, pangkat, gengsi, jabatan, kepuasan, membahagikan orang tua?’ Baiklah
jika memang itu tujuannya. Tapi... coba dipikir lagi. Jika kita sudah sampai
pada titik (maaf) terlena dengan keinginan duniawi tersebut, sehingga pikiran
kita tidak terkontrol lagi, hingga jatuh sakit, apa semua tujuan tadi bisa
tercapai? Probably, big NO. Sukses tidak didapatkan, gengsi mulai hilang, dan
orangtua serta orang sekitar kita yang akan repot karena kita.
INTINYA,
setiap hidup memiliki perjalanan. Tak ada yang semulus jalan tol. Jangan pernah
libatkan iblis dalam rencana dan pikiranmu. Jika tak sanggup, cari seseorang
yang bisa mendengarkan dan memberi solusi. Setidaknya, jika kamu hanya mendapatkan
teman yang bisa mendengarkan namun belum bisa memberi solusi, sebenarnya itu
sudah lebih dari cukup. Pada dasarnya, seseorang yang sedang dilanda
permasalahan itu, butuh telinga yang bisa mendengarkannya. Untuk seorang
pendengar, jika kamu tak bisa memberi solusi, silakan dengarkan saja sepenuh
hati, namun jangan pernah berkomentar ‘mengompori’ yang dapat menambah stres
lawan bicaramu.
Sebenarnya,
ada hal lain yang ingin aku bahas dan menjadi inti dari tulisan ini. Bagian di
atas, baru perkenalan, latar belakang, dan rumusan masalah. Bagaimana caraku
mengatasi hal-hal yang aku utarakan di atas, bagaimana reaksiku ketika sudah
mulai menerima kegagalan kemudian datang lagi kegagalan lain secara
bertubi-tubi, hingga ada satu cara baru yang aku temukan untuk bisa
menyadarkanku bahwa Allah itu dekat.
Hingga
tulisan ini kutuliskan pada paragraf ini, aku masih belum berhasil, Kawan.
Dulu, aku berniat untuk membagikan tulisanku di saat aku sudah layak dikatakan
berhasil. Tapi ternyata, terlalu lama. Pada akhirnya aku menyadari, jika
berbagi di saat berhasil saja, mungkin tidak akan terlalu merangkul pembaca
karena aku tidak merasakan apa yang pembaca rasakan. Namun sekarang, jika
keadaan dan emosi kalian hampir mirip dengan kondisi cerita di atas, percayalah
aku juga sedang melalui apa yang kalian rasakan.
See
U di cerita selanjutnya bagian 2!
Kapan?
Doakan aku supaya tidak malas dan mager ya Yeorubun-deul J