Minggu, 20 Agustus 2017

Surat Kaleng tanpa Judul (Padamu, Anak dari Setiap Ayah dan Ibu)


Ini seperti surat kaleng. Bukan kulemparkan ke lautan, melainkan melewati jaringan yang penuh kecanggihan. Semoga tersampaikan pada siapapun, entah kukenal maupun tidak, terutama pada diri ini sendiri yang sampai saat ini tak kuketahui rupanya yang nyata dan keinginan hatinya seperti apa. 
Semoga kita selalu diberikan petunjuk yang lurus oleh Yang Maha Kuasa. Aamiin Ya Rabb.

Kemeriahan perayaan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-72 tahun masih terasa walaupun sudah beberapa hari berlalu. Selamat wahai negaraku, sudah lebih dari setengah abad dirimu tak lagi bertekuk lutut pada kezaliman. Sayangnya, selamat yang kuucapkan tak secara nyata dapat menyatakan bahwa dirimu tengah berada dalam kondisi yang selamat. Kali ini, bukan berbicara mengenai keselamatan makro seperti keadaan negara, politik, perekonomian, ataupun keadaan Internasional. Berbicara mengenai hal tersebut tak akan ada habisnya, semakin dibahas maka semakin banyak masalah yang harus diselesaikan.

Mari sejenak kita berbicara dalam unit mikro – agen yang harus diselamatkan paling pertama – yang merupakan salah satu pemain pengisi kemerdekaan. Siapa? Tentang DIRI SAYA. “Saya” siapakah yang dimaksud? Coba engkau sebutkan kata “SAYA”, maka itulah dia tujuannya. Jika aku yang menulis tulisan ini menyebutkannya, maka itulah objek “Saya” bagi diriku, begitupun denganmu.

Perkenalkan, saya adalah seorang anak dari kedua orangtua yang kasih sayangnya tak akan pernah mati sampai kapanpun. Ayah dan ibu, begitulah panggilannya secara umum. Jika ditanya apakah saya menyayanginya, saya akan menjawab dengan lantang bahwa saya sangatlah sayang pada keduanya. Jika ditanya rindukah saya kepada ayah dan ibu, jangan ragukan lagi, jawaban saya adalah merindukannya setiap waktu apalagi di saat berpisah. 

Namun, sebenar-benar sayangkah saya? Apakah rindu saya untuk keduanya benar-benar ada? Jawaban di atas adalah jawaban yang dilontarkan oleh mulut saya, bukan oleh sikap dan perilaku. Saya memang menjawabnya diiringi dengan perasaan hati yang sayang dan rindu, namun perbuatan saya tidaklah mencerminkannya. 

Berapa kali sehari saya mendoakan keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat keduanya? Hanya saya dan Allah-lah yang tahu. Ini untuk mengingatkan diri saya, bahwa kasih sayang bukan saja yang diperlihatkan, namun juga yang disimpan dalam kerahasiaan.

Berapa kali perjumpaan yang saya lakukan dengan orangtua dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, atau pun satu tahun? Dalam setiap perjumpaan, berapa kali saya mengabaikan kebersamaan bersama keduanya hanya karena gadget yang saya miliki? Di saat pulang ke rumah, berapa kali saya bertengkar, merasa kesal, mengeluh, ataupun berbicara dengan nada yang tinggi kepada ayah dan ibu? Jika saya ditanya, saya akan menjawab bahwa saya rindu, namun ketika bertemu, saya malah jarang berinteraksi dengan orangtua saya, membalas pesan di handphone pintar lebih menarik daripada bercengkerama dengan ayah dan ibu. Saya menjawab bahwa saya rindu, tapi adapun ketika berbicara, saya sering kesal dengan orangtua yang menyuruh ini dan itu, menyalahkan apa yang saya lakukan, menasihati perangai saya. Saya merasa tak suka diberitahu, karena saya pikir saya sudah besar, saya sudah merantau jauh, pemikiran saya juga sudah tinggi, sehingga saya tak mau lagi dimarahi orangtua. Untuk menghentikan segala bentuk kecerewetan ayah dan ibu, saya tinggal meninggikan suara dengan nada yang menjengkelkan, sehingga ayah dan ibu berhenti dan tak mau lagi berkata apa-apa.

Jadi, di mana letak sayang dan rindu saya pada kedua orangtua?

Saya adalah orang yang berprestasi, baik di lingkungan kelas secara akademis, maupun lingkungan organisasi dan ekstrakulikuler di kampus. Debat dan orasi sudah sering saya lakoni. Saya sudah merasa hebat, saya pikir orangtua saya akan bangga dengan semua ini. Kuliah saya sudah di kampus bergengsi, sudah dipuji oleh tetangga kanan dan kiri, seharusnya orangtua saya sudah senang dengan semua ini. Negara ini harusnya bersyukur memiliki saya sebagai warga negara. Tapi ternyata, 
saya SALAH BESAR. 

Kebanggaan utama orangtua saya tidak mengacu pada prestasi, namun pada sopan santun dan lemah lembut pada keduanya yang menjadi prioritas. Menghormati dan menyayangi keduanya, itulah yang membuat hatinya tenang. Negara ini, tak hanya butuh orang-orang pintar, namun juga orang shaleh / shalehah yang bertakwa kepada Yang Maha Pencipta, berbakti kepada kedua orangtua, dan bukan orang yang sombong lagi jumawa.

Kesadaran yang perlu saya tanamkan, bahwa saya belumlah menjadi orang yang hebat. Belum ada yang bisa saya banggakan. Sebanyak apapaun matakuliah yang saya ambil, selama apapun saya berada di kampus, sejauh apapun negeri yang telah saya tempuh, namun saya masihlah makhluk yang kerdil. Tak pantas bersikap sombong pada orangtua, walaupun keduanya terkadang membuat hati saya kesal. Sebenarnya juga tak pantas saya merasa kesal pada ayah dan ibu, sedangkan yang menjadi penyebab kekesalan itu adalah hal kebaikan yang dimaksudkan oleh ayah dan ibu.

Wahai diri yang kusebut dengan “saya”, semoga isi surat kaleng ini tidak membingungkan. Semoga yang kumaksud bisa tersampaikan pada “saya”. Wahai saya, cepatlah berubah, jangan biarkan orangtua saya tersiksa dengan apa yang saya perbuat. Saya adalah seorang anak dari orangtua yang harus saya bahagiakan dunia dan akhirat, lillahita’ala.

Surat kaleng tanpa kaleng,
Rahmi Afzhi Wefielananda
20/08/2017

*sumber gambar : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar